
Newsletter
Mata dan Telinga Menyimak Suku Bunga
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 May 2018 06:00

Sedangkan dari eksternal, hal yang tetap harus diwaspadai adalah berlanjutnya kenaikan yield obligasi AS karena peningkatan ekspektasi inflasi. Positifnya data-data ekonomi AS merupakan hal yang memantik persepsi tersebut.
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara year-on-year (YoY) mencapai 4,7%.
Kuatnya data penjualan ritel tersebut lantas menjadi indikasi bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat AS akan menguat pada kuartal II-2018 ini, setelah pada kuartal I cukup mengecewakan. Artinya, pertumbuhan ekonomi AS akan membaik di kuartal II-2018.
Untuk mengendalikan ekspektasi inflasi, obat yang paling cespleng adalah menaikkan suku bunga. Ini yang menjadi kekhawatiran pasar, The Fed akan menaikkan suku bunga melebihi dosis. Potensi kenaikan empat kali sepanjang 2018 masih terbuka, lebih banyak dibandingkan kenaikan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan pasar.
Akibat berita kenaikan suku bunga, dolar AS pun mendapat energi penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama, masih di jalur pendakian dengan kenaikan 0,12%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah naik 4,37%.
Apresiasi dolar AS bisa berujung pada rupiah yang semakin tertekan. Mungkin jika tanpa campur tangan BI di pasar, dolar AS sudah stabil di kisaran Rp 14.100 atau bahkan lebih kuat.
Pelemahan rupiah tentu bukan kabar baik bagi IHSG. Depresiasi rupiah membuat aset-aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Biasanya aksi jual marak terjadi merespons pelemahan rupiah, utamanya oleh investor asing.
Namun, IHSG bisa mendapat angin segar dari kenaikan harga minyak. Harga si emas hitam naik setelah US Energy Information Administration melaporkan cadangan minyak AS turun 1,4 juta barel pada pekan kemarin. Ini jauh melampaui prediksi pasar yang memperkirakan penurunan 763.000 barel.
Kenaikan harga minyak juga ditopang oleh komentar sejumlah pejabat Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) yang memperkirakan harga minyak bisa menembus level US$ 80/barel. Saat ini, harga minyak jenis brent berada di kisaran US$ 79/barel.
"Harga minyak yang tinggi bukan karena masalah pasokan, tetapi lebih karena psikologis jangka pendek. Harga akan naik ke US$ 80/barel, tetapi tidak akan lama karena akan segera turun," ungkap sang pejabat yang enggan disebutkan namanya, mengutip dari Reuters.
Bila harga minyak terus naik, maka akan menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebab, saham-saham migas dan pertambangan akan lebih banyak mendapat apresiasi kala harga minyak tinggi.
(aji/aji)
Teranyar, penjualan ritel naik 0,3% secara month-to-month (MtM), sesuai dengan ekspektasi pasar. Sementara pertumbuhan secara year-on-year (YoY) mencapai 4,7%.
Kuatnya data penjualan ritel tersebut lantas menjadi indikasi bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat AS akan menguat pada kuartal II-2018 ini, setelah pada kuartal I cukup mengecewakan. Artinya, pertumbuhan ekonomi AS akan membaik di kuartal II-2018.
Untuk mengendalikan ekspektasi inflasi, obat yang paling cespleng adalah menaikkan suku bunga. Ini yang menjadi kekhawatiran pasar, The Fed akan menaikkan suku bunga melebihi dosis. Potensi kenaikan empat kali sepanjang 2018 masih terbuka, lebih banyak dibandingkan kenaikan tiga kali seperti yang sudah diperkirakan pasar.
Akibat berita kenaikan suku bunga, dolar AS pun mendapat energi penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama, masih di jalur pendakian dengan kenaikan 0,12%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah naik 4,37%.
Apresiasi dolar AS bisa berujung pada rupiah yang semakin tertekan. Mungkin jika tanpa campur tangan BI di pasar, dolar AS sudah stabil di kisaran Rp 14.100 atau bahkan lebih kuat.
Pelemahan rupiah tentu bukan kabar baik bagi IHSG. Depresiasi rupiah membuat aset-aset dalam mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Biasanya aksi jual marak terjadi merespons pelemahan rupiah, utamanya oleh investor asing.
Namun, IHSG bisa mendapat angin segar dari kenaikan harga minyak. Harga si emas hitam naik setelah US Energy Information Administration melaporkan cadangan minyak AS turun 1,4 juta barel pada pekan kemarin. Ini jauh melampaui prediksi pasar yang memperkirakan penurunan 763.000 barel.
Kenaikan harga minyak juga ditopang oleh komentar sejumlah pejabat Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) yang memperkirakan harga minyak bisa menembus level US$ 80/barel. Saat ini, harga minyak jenis brent berada di kisaran US$ 79/barel.
"Harga minyak yang tinggi bukan karena masalah pasokan, tetapi lebih karena psikologis jangka pendek. Harga akan naik ke US$ 80/barel, tetapi tidak akan lama karena akan segera turun," ungkap sang pejabat yang enggan disebutkan namanya, mengutip dari Reuters.
Bila harga minyak terus naik, maka akan menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebab, saham-saham migas dan pertambangan akan lebih banyak mendapat apresiasi kala harga minyak tinggi.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular