
Newsletter
Cermati Data Pertumbuhan Ekonomi
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 May 2018 05:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSg) tertekan dahsyat pada perdagangan pekan lalu. Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi salah satu kontributor utama pemberat IHSG.
Pada perdagangan sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 2,14%. Rata-rata nilai transaksi harian selama pekan kemarin merosot sampai 22,45%.
Sedangkan rata-rata volume transaksi harian juga melorot 34,49%. Kemudian frekuensi transaksi harian juga amblas 18,25%. Ini membuat kapitalisasi pasar di bursa saham domestik turun nyaris 2%.
Sepanjang pekan lalu, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 2,69%. Hasilnya, sejak awal 2018 nilai jual bersih investor asing sudah sebesar Rp 36,01 triliun.
Salah satu penyebab memburuknya kinerja bursa saham domestik adalah depresiasi nilai tukar. Pekan lalu, rupiah melemah 0,18% terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Penguatan greenback memang terjadi secara luas (broadbased), tidak hanya terhadap rupiah.
Penyebabnya adalah respons investor terhadap hasil pertemuan Bank Sentral AS (The Federal Rerserve/The Fed). Meski suku bunga acuan masih ditahan 1,5-1,75%, tetapi The Fed menyebutkan bahwa inflasi sudah mendekati target 2%. Pernyataan ini semakin membuka peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni, dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi.
Selain inflasi, data-data ekonomi Negeri Paman Sam pun semakin ciamik. Teranyar, angka pengangguran periode April 2018 tercatat sebesar 3,9%. Ini merupakan pencapaiaan terbaik sejak tahun 2000.
Ketika kondisi ketenagakerjaan membaik, maka produksi maupun konsumsi akan terakselerasi. Resultan dari situasi ini adalah munculnya tekanan inflasi, sehingga perlu dikendalikan melalui kenaikan suku bunga.
Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan 13 Juni sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 100%. Bila tidak ada aral merintang, pelaku pasar menilai hampir mustahil The Fed masih menahan suku bunga.
Perkembangan ini membuat investor ambil posisi. Pelaku pasar ramai-ramai memborong dolar AS, karena ketika suku bunga naik maka nilai mata uang ini akan terapresiasi.
Akibatnya, dolar AS menguat dahsyat. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,79%.
Penguatan dolar AS menekan mata uang dunia, termasuk rupiah. Saat rupiah terdepresiasi, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun.
Penguatan dolar AS yang berlangsung secara broadbased pun menekan mata uang dan bursa saham regional. Selama sepekan kemarin, Straits Times melemah 1,93%, KLCI anjlok 1,55%, Kospi ambles 2,19%, dan Hang Seng merosot 2,95%.
Pada perdagangan sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 2,14%. Rata-rata nilai transaksi harian selama pekan kemarin merosot sampai 22,45%.
Sedangkan rata-rata volume transaksi harian juga melorot 34,49%. Kemudian frekuensi transaksi harian juga amblas 18,25%. Ini membuat kapitalisasi pasar di bursa saham domestik turun nyaris 2%.
Sepanjang pekan lalu, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 2,69%. Hasilnya, sejak awal 2018 nilai jual bersih investor asing sudah sebesar Rp 36,01 triliun.
Salah satu penyebab memburuknya kinerja bursa saham domestik adalah depresiasi nilai tukar. Pekan lalu, rupiah melemah 0,18% terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Penguatan greenback memang terjadi secara luas (broadbased), tidak hanya terhadap rupiah.
Penyebabnya adalah respons investor terhadap hasil pertemuan Bank Sentral AS (The Federal Rerserve/The Fed). Meski suku bunga acuan masih ditahan 1,5-1,75%, tetapi The Fed menyebutkan bahwa inflasi sudah mendekati target 2%. Pernyataan ini semakin membuka peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni, dalam rangka menjangkar ekspektasi inflasi.
Selain inflasi, data-data ekonomi Negeri Paman Sam pun semakin ciamik. Teranyar, angka pengangguran periode April 2018 tercatat sebesar 3,9%. Ini merupakan pencapaiaan terbaik sejak tahun 2000.
Ketika kondisi ketenagakerjaan membaik, maka produksi maupun konsumsi akan terakselerasi. Resultan dari situasi ini adalah munculnya tekanan inflasi, sehingga perlu dikendalikan melalui kenaikan suku bunga.
Mengutip CME Federal Funds Futures, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan 13 Juni sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 100%. Bila tidak ada aral merintang, pelaku pasar menilai hampir mustahil The Fed masih menahan suku bunga.
Perkembangan ini membuat investor ambil posisi. Pelaku pasar ramai-ramai memborong dolar AS, karena ketika suku bunga naik maka nilai mata uang ini akan terapresiasi.
Akibatnya, dolar AS menguat dahsyat. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,79%.
Penguatan dolar AS menekan mata uang dunia, termasuk rupiah. Saat rupiah terdepresiasi, berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun.
Penguatan dolar AS yang berlangsung secara broadbased pun menekan mata uang dan bursa saham regional. Selama sepekan kemarin, Straits Times melemah 1,93%, KLCI anjlok 1,55%, Kospi ambles 2,19%, dan Hang Seng merosot 2,95%.
Next Page
Wall Street Akhiri Pekan di Zona Hijau
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular