
Newsletter
Hantu Itu Bernama Depresiasi Rupiah
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 April 2018 06:13

Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah faktor yang bisa kembali menyeret IHSG ke zona merah. Pertama, kekhawatiran soal depresiasi rupiah sepertinya masih menjadi hantu yang menakutkan bagi IHSG.
Greenback masih menunjukkan tren penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, masih menguat sampai pagi ini. Bahkan penguatannya cukup signifikan, mencapai 0,68%.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,68%. Sementara selama sebulan ke belakang, indeks ini naik 1,61%. Artinya masih ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut.
Pelemahan rupiah bukan kabar baik buat IHSG. Pasalnya, rupiah yang melemah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) kemungkinan masih akan terjadi.
Kedua, yield obligasi negara AS juga masih dalam tren ke atas. Saat ini, yield obligasi tenor 10 tahun berada di 2,977%. Bila tren ini terus terjadi, maka yield 3% sudah di depan mata. Kali terakhir yield obligasi negara AS tenor 10 tahun menyentuh 3% adalah pada akhir 2013.
Kenaikan yield merupakan tanda bahwa ke depan ada potensi ancaman inflasi yang perlu diwaspadai. Dalam konteks AS, upaya meredam laju inflasi salah satunya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar saham.
Jika persepsi seperti ini terus muncul di benak investor, maka dikhawatirkan menjadi self fulfilling prophecy. Investor akan melakukan aksi jual dan pasar saham tertekan. Padahal belum terjadi apa-apa, tetapi dampaknya seolah-olah kenaikan suku bunga acuan secara lebih agresif sudah kejadian.
Namun ada pula faktor yang bisa membuat IHSG rebound ke zona hijau. Pertama adalah harga minyak. Setelah melalui periode koreksi, harga si emas hitam mulai menanjak.
Harga minyak naik setelah terdengar kabar bahwa AS dan sekutunya akan memperketat sanksi bagi Venezuela. AS memang tidak merestui rezim Presiden Nicolas Maduro di negara yang sering melahirkan Miss Universe tersebut.
"Aksi nyata harus dilakukan untuk membatasi akses keuangan para pejabat negara Venezuela yang korup," tegas Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS. Pernyataan ini datang setelah AS dan sejumlah negara melakukan pertemuan. Perwakilan yang hadir adalah dari Argentina, Brasil, Kolombia, Guatemala, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris.
Bila sanksi dijatuhkan, maka dikhawatirkan akan semakin membatasi produksi minyak Venezuela. Negara ini merupakan salah satu produsen utama minyak dunia. Bahkan Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,35 miliar barel. Gangguan produksi di sana tentu akan mempengaruhi harga minyak dunia.
Tidak hanya Venezuela, AS juga mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan bagi negara-negara produsen minyak utama lainnya seperti Iran dan Rusia. Ini membuat harga si emas hitam cenderung bergerak naik.
Kenaikan harga minyak akan berdampak positif bagi IHSG. Emiten mIgas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik.
Selanjutnya adalah kinerja korporasi. Seperti halnya di Wall Street, di Indonesia juga tengah terjadi earnings season.
Hari ini bahkan sejumlah emiten besar akan melaporkan kinerjanya, yaitu UNTR dan ASII. Bila kinerja keuangan emiten cukup solid, maka diharapkan bisa menjadi dorongan bagi IHSG. (aji/aji)
Greenback masih menunjukkan tren penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, masih menguat sampai pagi ini. Bahkan penguatannya cukup signifikan, mencapai 0,68%.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,68%. Sementara selama sebulan ke belakang, indeks ini naik 1,61%. Artinya masih ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut.
Pelemahan rupiah bukan kabar baik buat IHSG. Pasalnya, rupiah yang melemah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) kemungkinan masih akan terjadi.
Kedua, yield obligasi negara AS juga masih dalam tren ke atas. Saat ini, yield obligasi tenor 10 tahun berada di 2,977%. Bila tren ini terus terjadi, maka yield 3% sudah di depan mata. Kali terakhir yield obligasi negara AS tenor 10 tahun menyentuh 3% adalah pada akhir 2013.
Kenaikan yield merupakan tanda bahwa ke depan ada potensi ancaman inflasi yang perlu diwaspadai. Dalam konteks AS, upaya meredam laju inflasi salah satunya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar saham.
Jika persepsi seperti ini terus muncul di benak investor, maka dikhawatirkan menjadi self fulfilling prophecy. Investor akan melakukan aksi jual dan pasar saham tertekan. Padahal belum terjadi apa-apa, tetapi dampaknya seolah-olah kenaikan suku bunga acuan secara lebih agresif sudah kejadian.
Namun ada pula faktor yang bisa membuat IHSG rebound ke zona hijau. Pertama adalah harga minyak. Setelah melalui periode koreksi, harga si emas hitam mulai menanjak.
Harga minyak naik setelah terdengar kabar bahwa AS dan sekutunya akan memperketat sanksi bagi Venezuela. AS memang tidak merestui rezim Presiden Nicolas Maduro di negara yang sering melahirkan Miss Universe tersebut.
"Aksi nyata harus dilakukan untuk membatasi akses keuangan para pejabat negara Venezuela yang korup," tegas Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS. Pernyataan ini datang setelah AS dan sejumlah negara melakukan pertemuan. Perwakilan yang hadir adalah dari Argentina, Brasil, Kolombia, Guatemala, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris.
Bila sanksi dijatuhkan, maka dikhawatirkan akan semakin membatasi produksi minyak Venezuela. Negara ini merupakan salah satu produsen utama minyak dunia. Bahkan Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,35 miliar barel. Gangguan produksi di sana tentu akan mempengaruhi harga minyak dunia.
Tidak hanya Venezuela, AS juga mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan bagi negara-negara produsen minyak utama lainnya seperti Iran dan Rusia. Ini membuat harga si emas hitam cenderung bergerak naik.
Kenaikan harga minyak akan berdampak positif bagi IHSG. Emiten mIgas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik.
Selanjutnya adalah kinerja korporasi. Seperti halnya di Wall Street, di Indonesia juga tengah terjadi earnings season.
Hari ini bahkan sejumlah emiten besar akan melaporkan kinerjanya, yaitu UNTR dan ASII. Bila kinerja keuangan emiten cukup solid, maka diharapkan bisa menjadi dorongan bagi IHSG. (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular