Newsletter

Hantu Itu Bernama Depresiasi Rupiah

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
24 April 2018 06:13
Hantu Itu Bernama Depresiasi Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
  • IHSG melemah pada perdagangan kemarin.
  • Bursa utama Asia cenderung berakhir di zona negatif.
  • Wall Street berakhir variatif dengan pergerakan tipis.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terjebak di zona merah pada perdagangan kemarin. Bursa saham Asia pun bergerak senada dengan IHSG, terseret ke teritori negatif akibat lonjakan imbal hasil  atau yield obligasi negara Amerika Serikat (AS).

Kemarin, IHSG ditutup turun 0,47% ke 6,308,15 poin. Sementara indeks LQ45 juga bernasib sama, melemah 0,68% ke 1.027,46. Nilai transaksi mencapai Rp 7,17 triliun dengan volume 11,26 miliar saham. Frekuensi perdagangan tercatat sebanyak 375.081 kali.  

Sama seperti akhir pekan lalu, pelemahan nilai tukar rupiah rupiah menjadi momok bagi IHSG. Sampai dengan akhir perdagangan IHSG hari ini, rupiah melemah 0,11% ke Rp 13.890/dolar AS. Ini merupakan depresiasi terdalam sejak awal 2016.

Seiring dengan pelemahan rupiah, investor asing mencatatkan jual bersih yang begitu besar, yakni senilai Rp 1,02 triliun. Saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing di antaranya BBRI (Rp 229,58 miliar), UNVR (Rp 133,46 miliar), BMRI (Rp 123,77 miliar), BBNI (Rp 99,05 miliar), dan PGAS (Rp 55,01 miliar). 

Salah satu penyebab depresiasi rupiah adalah lonjakan yield obligasi negara AS. Ada dua kecemasan pasar yang menyebabkan kenaikan yield instrumen ini; tingginya pasokan dan ekspektasi inflasi. 

Presiden AS Donald Trump telah melaksanakan program pemotongan tarif pajak korporasi, yang tentunya membuat penerimaan negara berkurang. Mau tidak mau kekurangan tersebut harus ditutup dan sumbernya adalah dari utang, khususnya penerbitan obligasi. Ini menyebabkan pasokan obligasi pemerintah AS agak melimpah di pasar.

Seperti hukum ekonomi, barang yang terlalu banyak membuat harganya turun. Dalam hal obligasi, penurunan harga berarti kenaikan yield.
 

Tidak hanya itu, yield juga terkerek naik akibat ekspektasi inflasi. Beige Book The Federal Reserve/The Fed menyebutkan pelaku usaha sudah mulai meningkatkan pinjaman ke perbankan. Kemudian, belanja masyarakat juga semakin membaik dan pasar tenaga kerja terus positif.  

Geliat ekonomi tersebut memunculkan kekhawatiran percepatan laju inflasi. Obligasi adalah instrumen yang sangat sensitif terhadap inflasi, sehingga kenaikan yield merupakan pertanda bahwa akan ada akselerasi inflasi. 

Dua faktor tersebut menyebabkan yield obligasi pemerintah AS naik. Kemarin, yield obligasi tenor 10 tahun sempat menyentuh 2,998%, tertinggi sejak Januari 2014. 

Pada satu titik, kenaikan yield membuat instrumen ini menjadi menarik sehingga investor melakukan technical shift dari saham ke obligasi. Perpindahan dana ini yang menyebabkan rupiah agak tertekan. 

Tidak hanya di Indonesia, cerita yang sama juga membuat bursa saham Asia berakhir di wilayah negatif. Nikkei 225 turun 0,33%, Hang Seng melemah 0,54%, Kospi terkoreksi 0,15%, KLCI minus 0,4%, dan SETi berkurang 0,6%.
Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,06%, S&P 500 naik 0,01%, dan Nasdaq terkoreksi 0,25%. 

Saham-saham teknologi menjadi penyebab pelemahan di DJIA dan Nasdaq. Hal ini didorong oleh pemotongan target pendapatan raksasa semikonduktor Taiwan, Taiwan Semiconductor Manufacturing Co Ltd, akibat permintaan smartphone yang melandai pada tahun ini. Taiwan Semiconductor adalah pemasok bagi Apple, Nvidia, sampai Qualcomm. 

Pergerakan Wall Street yang tipis menandakan investor masih berhati-hati dalam beraktivitas. Terbukti dari volume transaksi yang hanya melibatkan 5,76 miliar unit saham. Di bawah rata-rata selama 20 hari terakhir yaitu 6,8 miliar unit saham. 

Seperti halnya di Asia, investor di Wall Street pun sepertinya mencermati perkembangan yield obligasi. Kenaikan yield yang didorong ekspektasi inflasi lagi-lagi memunculkan kekhawatiran bahwa The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. 

Tidak hanya itu, data-data ekonomi Negeri Paman Sam juga terus memperlihatkan hasil yang positif. Teranyar, Markit Manufacturing PMI periode April 2018 tercatat 56,5. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 55,6. Ini merupakan ekspansi tercepat sejak September 2014. 

Data-data ekonomi yang positif seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi pasti positif, karena menandakan laju ekonomi Negeri Adidaya semakin moncer. Namun di sisi lain memunculkan kekhawatiran The Fed akan menaikkan suku bunga acuan secara agresif untuk mencegah terjadinya overheating. Kenaikan suku bunga acuan bukan kabar baik bagi bursa saham. 

Namun, pelemahan Wall Street hari ini masih bisa tertahan oleh kinerja korporasi yang solid. Dari 18% emiten yang sudah melaporkan kinerja, 78,2% di antaranya melebihi ekspektasi pasar. 

Misalnya Google, yang membukukan lonjakan kenaikan laba sampai 73% karena pendapatan dari iklan. Pendapatan pun naik 25,86%. 

Pekan ini, musim laporan keuangan alias earnings season masih menjadi perhatian investor Wall Street. Sejumlah perusahaan besar dijadwalkan segera merilis laporan mereka, di antaranya adalah Facebook, Microsoft, Amazon, dan Intel. Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah faktor yang bisa kembali menyeret IHSG ke zona merah. Pertama, kekhawatiran soal depresiasi rupiah sepertinya masih menjadi hantu yang menakutkan bagi IHSG.

Greenback masih menunjukkan tren penguatan. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama, masih menguat sampai pagi ini. Bahkan penguatannya cukup signifikan, mencapai 0,68%. 

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,68%. Sementara selama sebulan ke belakang, indeks ini naik 1,61%. Artinya masih ada potensi rupiah untuk melemah lebih lanjut.

Pelemahan rupiah bukan kabar baik buat IHSG. Pasalnya, rupiah yang melemah membuat berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun. Akibatnya, aksi jual (terutama oleh investor asing) kemungkinan masih akan terjadi. 

Kedua, yield obligasi negara AS juga masih dalam tren ke atas. Saat ini, yield obligasi tenor 10 tahun berada di 2,977%. Bila tren ini terus terjadi, maka yield 3% sudah di depan mata. Kali terakhir yield obligasi negara AS tenor 10 tahun menyentuh 3% adalah pada akhir 2013. 

Kenaikan yield merupakan tanda bahwa ke depan ada potensi ancaman inflasi yang perlu diwaspadai. Dalam konteks AS, upaya meredam laju inflasi salah satunya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar saham. 

Jika persepsi seperti ini terus muncul di benak investor, maka dikhawatirkan menjadi self fulfilling prophecy. Investor akan melakukan aksi jual dan pasar saham tertekan. Padahal belum terjadi apa-apa, tetapi dampaknya seolah-olah kenaikan suku bunga acuan secara lebih agresif sudah kejadian. 

Namun ada pula faktor yang bisa membuat IHSG rebound ke zona hijau. Pertama adalah harga minyak. Setelah melalui periode koreksi, harga si emas hitam mulai menanjak. 

Harga minyak naik setelah terdengar kabar bahwa AS dan sekutunya akan memperketat sanksi bagi Venezuela. AS memang tidak merestui rezim Presiden Nicolas Maduro di negara yang sering melahirkan Miss Universe tersebut. 

"Aksi nyata harus dilakukan untuk membatasi akses keuangan para pejabat negara Venezuela yang korup," tegas Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS. Pernyataan ini datang setelah AS dan sejumlah negara melakukan pertemuan. Perwakilan yang hadir adalah dari Argentina, Brasil, Kolombia, Guatemala, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Inggris. 

Bila sanksi dijatuhkan, maka dikhawatirkan akan semakin membatasi produksi minyak Venezuela. Negara ini merupakan salah satu produsen utama minyak dunia. Bahkan Venezuela memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,35 miliar barel. Gangguan produksi di sana tentu akan mempengaruhi harga minyak dunia. 

Tidak hanya Venezuela, AS juga mengancam akan memberlakukan sanksi tambahan bagi negara-negara produsen minyak utama lainnya seperti Iran dan Rusia. Ini membuat harga si emas hitam cenderung bergerak naik. 

Kenaikan harga minyak akan berdampak positif bagi IHSG. Emiten mIgas dan pertambangan akan lebih diapresiasi kala harga minyak naik. 

Selanjutnya adalah kinerja korporasi. Seperti halnya di Wall Street, di Indonesia juga tengah terjadi earnings season.

Hari ini bahkan sejumlah emiten besar akan melaporkan kinerjanya, yaitu UNTR dan ASII. Bila kinerja keuangan emiten cukup solid, maka diharapkan bisa menjadi dorongan bagi IHSG. Berikut adalah agenda yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis laporan kuartal I-2018 UNTR.
  • Rilis laporan kuartal I-2018 ASII.
  • RUPS Tahunan FASW (10.30 WIB).
  • RUPS Tahunan BNGA (14.00 WIB).
  • RUPSLB BNLI (14.00 WIB).
  • RUPS Tahunan WIKA (14.00 WIB).
  • Earnings call BMRI (17:30 WIB). 
Berikut perkembangan sejumlah bursa saham utama:

Indeks

Close

% Change

% YTD

IHSG

6,308.15

(0.47)

(0.75)

LQ45

1,027.46

(0.68)

(4.81)

DJIA

24,448.69

(0.06)

(1.09)

CSI300

3,766.83

0.16

(6.55)

Hang Seng

30,254.40

(0.54)

1.12

Nikkei 225

22,088.04

(0.33)

(2.97)

Strait Times

3,579.54

0.17

5.19


Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:

Mata Uang Close% Change % YoY
USD/IDR13,890.000.114.31
EUR/USD1.22(0.62)12.35
GBP/USD1.39(0.46)8.95
USD/CHF0.980.37(1.76)
USD/CAD1.280.68(4.86)
USD/JPY108.690.96(0.96)
AUD/USD0.76(0.88)0.51

Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:  

Komoditas Close % Change % YoY
Minyak WTI (USD/barel)69.020.9240.18
Minyak Brent (USD/barel)74.991.2345.31
Emas (USD/troy ons)1,324.65(0.76)3.86
CPO (MYR/ton)2,402.00(0.33)(8.81)
Batu bara (USD/ton)93.600.1611.56
Tembaga (USD/pound)3.11(1.15)21.65
Nikel (USD/ton)14,775.50(1.63)60.49
Timah (USD/ton)21,660.000.9810.23
Karet (JPY/kg)188.304.44(30.13)
Kakao (USD/ton)2,692.00(2.07)50.47

Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:  

Tenor Yield (%)
 5Y6.29
10Y6.85
15Y7.14
20Y7.43
30Y7.54
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2017 YoY)5.07%
Inflasi (Maret 2018 YoY)3.4%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (2017)-1.7% PDB
Neraca pembayaran (2017)US$ 11.6 miliar
Cadangan devisa (Maret 2018)US$ 126 miliar
   
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular