
Newsletter
Perang Dagang Reda, Saatnya Berbelanja?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
11 April 2018 05:45

Untuk perdagangan hari ini, positifnya kinerja Wall Street bisa menjadi angin segar bagi bursa Asia, termasuk Indonesia. Diharapkan optimisme investor di bursa New York dapat menular ke pasar saham Benua Kuning.
Meredanya sentimen perang dagang juga bisa membantu IHSG untuk tetap di jalur hijau. Setidaknya untuk saat ini satu kecemasan besar telah berkurang, sebelum muncul perkembangan baru. Mumpung situasi sedang tenang, investor bisa memanfaatkannya untuk berbelanja aset.
Harga minyak sepertinya juga masih suportif buat IHSG. Baik light sweet maupun brent sama-sama naik lebih dari 3%. Jika kenaikan ini bertahan sepanjang hari, maka akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas dan pertambangan.
Sentimen perang dagang yang mereda membuat harga minyak meroket. Perkembangan konflik Suriah juga menjadi faktor psikologis yang mendorong kenaikan harga minyak.
Presiden AS Donald Trump menjanjikan balasan keras atas serangan senjata kimia kepada warga sipil yang disebut-sebut dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad. Perkembangan ini bisa mendorong AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang merupakan pendukung pemerintahan al-Assad. Artinya, sanksi terhadap Iran bisa kembali diterapkan sehingga memukul industri minyak di Negeri Persia.
Dolar AS yang cenderung melemah juga bisa mendukung kenaikan IHSG. Dengan risiko perang dagang yang memudar, investor pun memasang mode risk on dan meninggalkan dolar AS untuk sementara. Akibatnya, greenback pun melemah terhadap mata uang dunia termasuk rupiah.
Penguatan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menarik. Investor, terutama Asing, bisa kembali menjadikan investasi di aset-aset rupiah sebagai pilihan.
Meski demikian, ada pula sejumlah risiko yang perlu dicermati oleh investor. Pertama, penguatan IHSG yang cukup signifikan dalam dua hari terakhir bisa mengundang minat investor untuk melakukan ambil untung.
Apalagi valuasi IHSG tergolong masih mahal di antara bursa saham kawasan. Saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 17,84 kali. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11.49 kali), KLCI (16,77 kali), SETi (16,67 kali), Nikkei 225 (15,72 kali), Hang Seng (12,6 kali), SSEC (14,16 kali), sampai Kospi (12,1%).
Faktor kedua adalah langkah pemerintah yang seakan meninggalkan reformasi subsidi energi. Pemerintah berencana merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual eceran BBM.
Nantinya, pasokan bensin jenis premium wajib dijaga tetap memadai di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di luar Jawa, Madura, dan Bali. Selain itu, setiap kenaikan harga bensin non subsidi harus mendapat restu pemerintah.
Padahal, reformasi subsidi energi merupakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lembaga pemeringkat (rating agency) juga kerap menyoroti isu ini.
Moody's dikabarkan akan merilis penilaian (assessment) untuk Indonesia pada pekan ketiga atau keempat bulan ini. Jika Moody's menanggapi negatif isu reformasi subsidi, maka kenaikan peringkat utang Indonesia bisa tertunda. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan domestik. (aji/aji)
Meredanya sentimen perang dagang juga bisa membantu IHSG untuk tetap di jalur hijau. Setidaknya untuk saat ini satu kecemasan besar telah berkurang, sebelum muncul perkembangan baru. Mumpung situasi sedang tenang, investor bisa memanfaatkannya untuk berbelanja aset.
Harga minyak sepertinya juga masih suportif buat IHSG. Baik light sweet maupun brent sama-sama naik lebih dari 3%. Jika kenaikan ini bertahan sepanjang hari, maka akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham migas dan pertambangan.
Sentimen perang dagang yang mereda membuat harga minyak meroket. Perkembangan konflik Suriah juga menjadi faktor psikologis yang mendorong kenaikan harga minyak.
Presiden AS Donald Trump menjanjikan balasan keras atas serangan senjata kimia kepada warga sipil yang disebut-sebut dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad. Perkembangan ini bisa mendorong AS keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, yang merupakan pendukung pemerintahan al-Assad. Artinya, sanksi terhadap Iran bisa kembali diterapkan sehingga memukul industri minyak di Negeri Persia.
Dolar AS yang cenderung melemah juga bisa mendukung kenaikan IHSG. Dengan risiko perang dagang yang memudar, investor pun memasang mode risk on dan meninggalkan dolar AS untuk sementara. Akibatnya, greenback pun melemah terhadap mata uang dunia termasuk rupiah.
Penguatan rupiah akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini menjadi menarik. Investor, terutama Asing, bisa kembali menjadikan investasi di aset-aset rupiah sebagai pilihan.
Meski demikian, ada pula sejumlah risiko yang perlu dicermati oleh investor. Pertama, penguatan IHSG yang cukup signifikan dalam dua hari terakhir bisa mengundang minat investor untuk melakukan ambil untung.
Apalagi valuasi IHSG tergolong masih mahal di antara bursa saham kawasan. Saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 17,84 kali. Lebih tinggi ketimbang Straits Times (11.49 kali), KLCI (16,77 kali), SETi (16,67 kali), Nikkei 225 (15,72 kali), Hang Seng (12,6 kali), SSEC (14,16 kali), sampai Kospi (12,1%).
Faktor kedua adalah langkah pemerintah yang seakan meninggalkan reformasi subsidi energi. Pemerintah berencana merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual eceran BBM.
Nantinya, pasokan bensin jenis premium wajib dijaga tetap memadai di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di luar Jawa, Madura, dan Bali. Selain itu, setiap kenaikan harga bensin non subsidi harus mendapat restu pemerintah.
Padahal, reformasi subsidi energi merupakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lembaga pemeringkat (rating agency) juga kerap menyoroti isu ini.
Moody's dikabarkan akan merilis penilaian (assessment) untuk Indonesia pada pekan ketiga atau keempat bulan ini. Jika Moody's menanggapi negatif isu reformasi subsidi, maka kenaikan peringkat utang Indonesia bisa tertunda. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan domestik. (aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular