- IHSG kembali ditutup melemah, tiga hari beruntun.
- Bursa Asia menguat tipis dibayangi isu perang dagang AS vs China.
- Wall Street ditutup variatif.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup turun 0,95%, penurunan sudah terjadi selama tiga hari berturut-turut. Kini "tabungan" IHSG sejak awal tahun sudah habis, dan sudah mencatat imbal hasil minus.
IHSG ditutup melemah 0,95% ke 6.321,9 poin pada perdagangan kemarin. Hal tersebut lantas membawa IHSG mencatatkan imbal hasil negatif secara year-to-date (YtD) yaitu sebesar -0,53%.
Sembilan sektor saham berakhir di zona merah, dipimpin oleh sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi yang anjlok hingga 2,66%. Sementara satu-satunya sektor yang berhasil menguat adalah agrikultur (+0,22%).
Transaksi berlangsung moderat yaitu senilai Rp 8,45 triliun dengan volume transaksi sebanyak 12,36 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan tercatat 367.558 kali. Sebanyak 119 saham mencatatkan kenaikan harga, 240 saham melemah, sementara 213 lainnya stagnan.
Investor asing melakukan jual bersih sebesar Rp 635,41 miliar. TLKM (Rp 289,9 miliar), BBRI (Rp 153,01 miliar), HMSP (Rp 75,86 miliar), UNTR (Rp 41,52 miliar), dan META (Rp 38,5 miliar) merupakan saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing.
Pelaku pasar nampak kecewa terhadap rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekspor pada Februari 2018 sebesar 11,7% year on year (YoY) dan impor melonjak 25,18% YoY. Neraca perdagangan pun mencatat defisit US$ 116 juta.
Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan selama tiga bulan berturut-turut. Hal ini bisa menjadi pola baru yang berlanjut pada bulan-bulan mendatang, sehingga menekan nilai tukar rupiah.
Dari sisi sektoral, anjloknya indeks saham infrastruktur, utilitas, dan transportasi merupakan hasil dari pelemahan saham TLKM (-3,2%). Aksi jual saham TLKM banyak dimotori oleh investor asing. Rilis laporan keuangan perusahaan merupakan salah satu hal yang mendasari aksi jual saham TLKM.
Sepanjang 2017, laba bersih perusahaan tumbuh sebesar 14,4% menjadi Rp 22,15 triliun dan pendapatan naik 10,25% menjadi Rp 128,26 triliun. Namun, pertumbuhan pendapatan dan laba bersih tahun lalu melandai dari capaian tahun 2016. Kala itu, pendapatan tumbuh sebesar 13,5%, sementara laba bersih meroket hingga 24,9%.
Selain TLKM, saham-saham emiten pertambangan juga turut berkontribusi bagi pelemahan IHSG. Saham-saham emiten tambang batu bara yang sempat menguat cukup signifikan pada sesi pertama justru ditutup terkoreksi seperti PTBA turun 2,11%, ADRO melemah 0,97%, dan ITMG berkurang 1,52%.
Seperti yang kami beritakan sebelumnya, penguatan saham-saham emiten batu bara memang perlu diwaspadai. Pasalnya, saat ini lebih banyak sentimen negatif yang mewarnai sektor tersebut. Harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman bulan ini tercatat turun 0,3% ke US$ 97,7/ton. Jika ditarik dari titik tertingginya tahun ini, harga batu bara sudah terkoreksi 10,37%.
Kemudian, sepanjang tahun ini indeks saham sektor pertambangan telah naik signfikan, salah satunya dipicu oleh kenaikan harga saham emiten batu bara. Secara YtD kenaikan indeks saham sektor pertambangan telah mencapai 15,96%, tertinggi dibandingkan sembilan sektor lainnya. Akibatnya, aksi ambil untung menjadi rawan dilakukan kapan saja, seperti yang dibuktikan kemarin.
Pelemahan IHSG terjadi di tengah mayoritas bursa saham regional yang ditutup naik meski terbatas. Indeks Nikkei 225 menguat 0,12%, Shanghai Composite tumbuh 0,01%, Hang Seng bertambah 0,34%, dan Kospi naik 0,25%.
Namun, penguatan bursa saham regional dibayangi oleh kembali munculnya potensi perang dagang Amerika Serikat (AS) versus China. Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan mengenakan bea masuk baru yang menyasar senilai US$ 60 miliar barang-barang impor dari China. Barang-barang yang akan dikenakan bea masuk tersebut adalah yang terkait dengan sektor teknologi, telekomunikasi, dan pakaian.
Langkah ini diambil guna 'menghukum' China atas pencuriaan kekayaan intelektual yang dimiliki oleh korporasi asal AS. Tak sampai disitu, pemerintahan Trump juga dikabarkan berniat membatasi investasi oleh perusahaan-perusahaan asal China di AS.
Dipilihnya Lawrence "Larry" Kudlow sebagai penasihat ekonomi baru Gedung Putih membuka pintu bagi kebijakan tersebut untuk benar-benar diterapkan. Dalam perbincangan dengan CNBC, Kudlow mengatakan bahwa China pantas mendapat perlakuan yang "keras" dalam hal perdagangan internasional.
Dari New York, bursa saham Wall Street berakhir variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,47% sementara S&P 500 melemah tipis 0,08% dan Nasdaq juga terkoreksi 0,2%.
Awalnya Wall Street berjalan dengan optimisme setelah rilis data klaim pengangguran AS. Data klaim tunjangan pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 10 Maret menunjukkan penurunan sebanyak 4.000 menjadi 226.000. Ini menunjukkan penambahan lapangan kerja di Negeri Paman Sam.
Wall Street juga mendapat angin segar dari pernyataan Peter Navarro, penasihat perdagangan internasional Gedung Putih. Dalam wawancara dengan CNBC, Navarro mengatakan pengenaan bea masuk di AS tidak perlu dibalas oleh negara lain sehingga menimbulkan perang dagang.
"Kami bisa menerapkannya dengan cara yang tetap positif bagi AS dan perdagangan global. Kami bisa menerapkannya dengan cara damai dan justru memperkuat perdagangan internasional. Semua orang di Wall Street perlu untuk memahami ini, tenang saja," tutur Navarro.
Namun, laju perdagangan kemudian menjadi melabat setelah New York Times melaporkan Kepala Badan Investigasi AS (US Special Counsel) Robert Mueller meminta dokumen-dokumen yang terkait dengan Presiden Trump. Termasuk dokumen yang mengaitkan Rusia dengan kemenangan Trump dalam pemilihan presiden. Hal ini membuat pelaku pasar grogi, karena bisa menimbulkan kegaduhan politik.
Seiring dengan berakhirnya musim laporan keuangan (earnings season), maka perhatian pasar kini tertuju kepada perkembangan di luar bursa. Kebijakan pemerintah dan data-data ekonomi menjadi fokus yang benar-benar dipantau oleh investor.
Untuk perdagangan hari ini, terdapat sejumlah faktor yang bisa membuat IHSG berbalik arah ke zona hijau. Pertama adalah "tabungan" kenaikan IHSG sepanjang 2018 yang sudah habis dan menjadi minus menjadikan harga aset menjadi lebih murah. Ini bisa dimanfaatkan investor untuk kembali berburu saham dan akan mendorong kenaikan IHSG.
Kedua adalah harga komoditas, terutama minyak. Harga si emas hitam mulai merangkak naik setelah terkoreksi akibat kekhawatiran melimpahnya pasokan minyak AS. Ini bisa menjadi angin segar bagi emiten pertambangan yang tengah mengalami tekanan jual.
Kenaikan harga minyak sejatinya masih rapuh, karena bagaimanapun pasokan minyak AS cukup melimpah. Pada pekan kedua Maret, cadangan minyak Negeri Paman Sam bertambah 5 juta barel, lebih tinggi dari estimasi pasar yaitu 2 juta barel.
Namun ada pula hal-hal yang bisa membuat IHSG kembali terperosok ke teritori negatif. Pertama tentu perkembangan di Wall Street, di mana dua dari tiga indeks utama mengalami pelemahan. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi bursa Asia, yang kemudian menular ke Indonesia.
Kedua adalah perkembangan dolar AS. Greenback yang sempat dalam mode defensif selama berhari-hari kembali menguat setelah investor investor kembali ke mata uang ini untuk mengamankan posisi jelang pertemuan The Federal Reserve/The Fed pada 21 Maret waktu setempat.
The Fed kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini, dan bila itu terjadi maka dolar AS akan terapresiasi. Oleh karena itu, investor mencari mata uang itu sekarang, sebelum nanti harganya naik.
Penguatan dolar akan berimbas ke pelemahan rupiah. Padahal rupiah sudah tertekan dari sisi perdagangan akibat defisit neraca perdagangan. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG.
Jelang pertemuan The Fed, investor asing juga sulit diharapkan untuk menopang IHSG. investor asing sepertinya akan cenderung bermain aman dengan menghindari aset-aset yang berisiko. Ini juga bisa menjadi pemberat IHSG.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas Kawasan Ekonomi Khusus (14.00 WIB).
- Rilis pembacaan akhir data inflasi zona Eropa (Eurozone) periode Februari 2018 (17.00).
- Rilis data penerbitan izin pembangunan hunian baru AS periode Februari 2018 (19.30).
- Rilis data pertumbuhan produksi industrial AS periode Februari 2018 (20.15).
Berikut perkembangan sejumlah bursa utama:
Indeks | Close | % Change | % YTD |
IHSG | 6,321.90 | (0.95) | (0.53) |
LQ45 | 1,039.43 | (1.15) | (3.70) |
DJIA | 24,873.66 | 0.47 | 0.62 |
CSI300 | 4,096.50 | 0.57 | 1.63 |
Hang Seng | 31,541.10 | 0.34 | 5.42 |
Nikkei 225 | 21,803.95 | 0.12 | (4.22) |
Straits Time | 3,517.73 | (0.61) | 3.37 |
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang:
Mata Uang | Close | % Change | % YoY |
USD/IDR | 13,748.00 | 0.06 | 3.00 |
EUR/USD | 1.23 | (0.48) | 14.32 |
GBP/USD | 1.39 | (0.16) | 12.77 |
USD/CHF | 0.95 | 0.69 | (4.50) |
USD/CAD | 1.30 | 0.76 | (2.00) |
USD/JPY | 106.32 | 0.00 | (6.16) |
AUD/USD | 0.78 | (1.01) | 1.56 |
Berikut perkembangan harga sejumlah komoditas:
Komoditas | Close | % Change | % YoY |
Minyak WTI (USD/barel) | 61.14 | 0.31 | 25.40 |
Minyak Brent (USD/barel) | 65.05 | 0.20 | 25.70 |
Emas (USD/troy ons) | 1,317.31 | (0.59) | 7.41 |
CPO (MYR/ton) | 2,434.00 | (0.29) | (17.85) |
Batu bara (USD/ton) | 92.73 | 0.22 | 14.34 |
Tembaga (USD/pound) | 3.10 | (1.02) | 16.45 |
Nikel (USD/ton) | 13,828.00 | 0.00 | 36.08 |
Timah (USD/ton) | 21,150.00 | (0.05) | 4.96 |
Karet (JPY/kg) | 194.00 | 5.26 | (31.71) |
Kakao (USD/ton) | 2,531 | (1.71) | 25.11 |
Berikut perkembangan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara:
Tenor | Yield |
5Y | 6.14 |
10Y | 6.67 |
15Y | 6.97 |
20Y | 7.31 |
30Y | 7.47 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Kurs (15 Maret 2018) | Rp 13.748/US$ |
Pertumbuhan ekonomi (2017 YoY) | 5,07% |
Inflasi (Februari 2018 YoY) | 3,18% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (2017) | -1,7% PDB |
Neraca pembayaran (2017) | US$ 11,6 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2017) | US$ 128,06 miliar |