
Newsletter
Kunci Ada di Jerome Powell
Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 February 2018 07:35

Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah hal yang bisa membuat IHSG rebound dan kembali ke zona hijau. Pertama tentu perkembangan di Wall Street, yang bisa menjadi pendorong penguatan bursa Asia termasuk Indonesia.
Kedua, perkembangan di pasar komoditas juga positif bagi IHSG. Harga minyak masih bergerak naik meski agak melambat dibandingkan kemarin. Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh masih kuatnya permintaan global terutama di AS dan Eropa seiring pemulihan ekonomi yang semakin nyata di sana.
Selain itu, komentar dari Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih juga turut menyebabkan kenaikan harga minyak. Al Falih menyatakan produksi minyak Arab Saudi pada Januari-Maret 2018 kemungkinan akan di bawah kuota dan ekspor tidak akan mencapai 7 juta barel/hari.
Selain itu, Al Falih juga menyebutkan bahwa Negeri Padang Pasir berharap Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan mengurangi kesepakatan penurunan produksi. OPEC sebaiknya mulai menyusun kerangka kerja yang lebih permanen untuk menstabilkan harga minyak, tidak lagi melalui kebijakan ad hoc pengurangan produksi seperti sekarang.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan migas dan pertambangan. Sektor pertambangan merupakan yang paling tinggi penguatannya di bursa saham domestik, dengan kenaikan year to date (YtD) mencapai 26%.
Ketiga, perkembangan nilai tukar dolar AS juga bisa menjadi energi penguatan IHSG. Greenback masih dalam posisi konsolidasi jelang pidato Powell, sehingga bergerak melemah terhadap mata uang dunia termasuk rupiah. Apresiasi rupiah bisa menjadi sentimen positif untuk penguatan IHSG, meski ini tidak berlaku untuk perdagangan kemarin.
Namun, penguatan nilai tukar rupiah juga mendatangkan risiko bagi Indonesia yaitu membanjirnya produk impor. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tahun ini, maka kemungkinan besar akan disertai dengan kenaikan impor (terutama bahan baku dan barang modal). Sebab, belum seluruh kebutuhan yang naik bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Kenaikan impor akan menekan neraca perdagangan, yang sudah terjadi dalam dua bulan terakhir. Lebih luas, hal ini juga bisa mengancam transaksi berjalan (current account) seperti yang terjadi pada 2014-2015.
Keempat, investor juga perlu mencermati laporan keuangan sejumlah emiten besar yang rencananya dirilis hari ini yaitu UNTR, ASII, dan INCO. Hasil positif dari emiten-emiten ini akan memberikan optimisme bagi IHSG.
Sementara hal yang bisa menjadi pemberat IHSG di antaranya adalah keputusan Pertamina untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM). Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan tekanan terhadap daya beli masyarakat.
Kenaikan harga sekitar Rp 300/liter terjadi wilayah Jawa-Bali, sedangkan di luar wilayah tersebut besaran kenaikannya beragam. Kenaikan harga BBM sangat berpotensi memicu inflasi, khususnya untuk inflasi yang diatur pemerintah (administered prices).
Saham-saham yang sensitif terhadap daya beli dan inflasi adalah barang konsumsi dan keuangan. Ketika daya beli melambat, maka saham barang konsumsi pasti akan terpengaruh karena kinerja emiten yang ikut tertahan. Sementara saham emiten sektor keuangan sangat sensitif terhadap inflasi karena akan mempengaruhi suku bunga.
Hal lain yang bisa memberi faktor risiko bagi IHSG adalah masih adanya kemungkinan aksi ambil untung lanjutan. Secara YtD, IHSG masih menyimpan penguatan 3,13% sehingga masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor kapan saja. (aji/aji)
Kedua, perkembangan di pasar komoditas juga positif bagi IHSG. Harga minyak masih bergerak naik meski agak melambat dibandingkan kemarin. Kenaikan harga si emas hitam dipicu oleh masih kuatnya permintaan global terutama di AS dan Eropa seiring pemulihan ekonomi yang semakin nyata di sana.
Selain itu, komentar dari Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih juga turut menyebabkan kenaikan harga minyak. Al Falih menyatakan produksi minyak Arab Saudi pada Januari-Maret 2018 kemungkinan akan di bawah kuota dan ekspor tidak akan mencapai 7 juta barel/hari.
Selain itu, Al Falih juga menyebutkan bahwa Negeri Padang Pasir berharap Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) akan mengurangi kesepakatan penurunan produksi. OPEC sebaiknya mulai menyusun kerangka kerja yang lebih permanen untuk menstabilkan harga minyak, tidak lagi melalui kebijakan ad hoc pengurangan produksi seperti sekarang.
Kenaikan harga minyak akan menjadi sentimen positif bagi perusahaan migas dan pertambangan. Sektor pertambangan merupakan yang paling tinggi penguatannya di bursa saham domestik, dengan kenaikan year to date (YtD) mencapai 26%.
Ketiga, perkembangan nilai tukar dolar AS juga bisa menjadi energi penguatan IHSG. Greenback masih dalam posisi konsolidasi jelang pidato Powell, sehingga bergerak melemah terhadap mata uang dunia termasuk rupiah. Apresiasi rupiah bisa menjadi sentimen positif untuk penguatan IHSG, meski ini tidak berlaku untuk perdagangan kemarin.
Namun, penguatan nilai tukar rupiah juga mendatangkan risiko bagi Indonesia yaitu membanjirnya produk impor. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik tahun ini, maka kemungkinan besar akan disertai dengan kenaikan impor (terutama bahan baku dan barang modal). Sebab, belum seluruh kebutuhan yang naik bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri.
Kenaikan impor akan menekan neraca perdagangan, yang sudah terjadi dalam dua bulan terakhir. Lebih luas, hal ini juga bisa mengancam transaksi berjalan (current account) seperti yang terjadi pada 2014-2015.
Keempat, investor juga perlu mencermati laporan keuangan sejumlah emiten besar yang rencananya dirilis hari ini yaitu UNTR, ASII, dan INCO. Hasil positif dari emiten-emiten ini akan memberikan optimisme bagi IHSG.
Sementara hal yang bisa menjadi pemberat IHSG di antaranya adalah keputusan Pertamina untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM). Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan tekanan terhadap daya beli masyarakat.
Kenaikan harga sekitar Rp 300/liter terjadi wilayah Jawa-Bali, sedangkan di luar wilayah tersebut besaran kenaikannya beragam. Kenaikan harga BBM sangat berpotensi memicu inflasi, khususnya untuk inflasi yang diatur pemerintah (administered prices).
Saham-saham yang sensitif terhadap daya beli dan inflasi adalah barang konsumsi dan keuangan. Ketika daya beli melambat, maka saham barang konsumsi pasti akan terpengaruh karena kinerja emiten yang ikut tertahan. Sementara saham emiten sektor keuangan sangat sensitif terhadap inflasi karena akan mempengaruhi suku bunga.
Hal lain yang bisa memberi faktor risiko bagi IHSG adalah masih adanya kemungkinan aksi ambil untung lanjutan. Secara YtD, IHSG masih menyimpan penguatan 3,13% sehingga masih ada sisa keuntungan yang bisa dicairkan investor kapan saja. (aji/aji)
Next Page
Simak Peristiwa dan Data Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular