Saatnya Subsidi Berkeadilan Menjadi Jalan Menuju Net Zero Emission
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia sedang memasuki babak baru dalam sejarah pembangunan nasional. Visi besar Prabowo tentang kedaulatan energi yang adil, hijau, dan berdaulat bukan sekadar slogan, melainkan arah strategis menuju masa depan berkelanjutan.
Namun, di tengah komitmen besar menuju Net Zero Emission 2060, pemerintah perlu melakukan langkah mendasar: merevisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan.
Perpres 112/2022 sejatinya lahir sebagai dasar percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, setelah lebih dari dua tahun berjalan, sejumlah ketentuan dalam regulasi ini belum sepenuhnya sinkron dengan arah transisi energi bersih dan agenda keadilan sosial yang kini menjadi prioritas pemerintahan Prabowo.
Beberapa pasal masih memberi ruang bagi pembangunan PLTU eksisting, belum mengatur digitalisasi energi secara menyeluruh, serta belum mencerminkan model subsidi berkeadilan yang transparan.
Selama puluhan tahun, subsidi energi ibarat pedang bermata dua. Ia melindungi masyarakat kecil, tetapi juga sering dinikmati oleh kelompok mampu dan industri berbasis fosil. Akibatnya, APBN terbebani ratusan triliun rupiah setiap tahun, sementara transisi menuju energi bersih berjalan lambat.
Padahal, dalam semangat kepemimpinan Prabowo, subsidi bukan alat mempertahankan ketergantungan, melainkan alat transformasi menuju kemandirian energi nasional. Keadilan dalam subsidi berarti setiap rupiah negara digunakan untuk memperkuat rakyat, bukan memperpanjang polusi.
Arah kebijakan kini harus bergeser dari subsidi konsumsi menuju subsidi transisi energi. Subsidi harus menjadi jembatan bagi masyarakat dan industri untuk berpindah ke sumber energi bersih.
Bentuknya bisa berupa dukungan langsung untuk proyek energi terbarukan kecil seperti PLTS atap, PLTB mikro, dan bioenergi; penerapan feed-in tariff otomatis berbasis data digital; serta insentif efisiensi energi yang mendorong penurunan emisi.
Dengan cara ini, subsidi tidak lagi menjadi beban fiskal, melainkan investasi strategis untuk ketahanan dan kedaulatan energi Indonesia.
Keadilan juga tidak akan terwujud tanpa transparansi. Karena itu, pemerintah perlu mempercepat digitalisasi energi melalui smart meter dua arah di seluruh wilayah Indonesia. Smart meter bukan sekadar alat ukur listrik, melainkan tulang punggung sistem energi modern.
Ia mencatat konsumsi dan ekspor listrik secara real-time, memastikan subsidi diberikan tepat sasaran, dan menjadi dasar pembayaran otomatis bagi listrik dari sumber energi terbarukan. Melalui sistem ini, kebijakan subsidi dapat diaudit publik, data emisi menjadi terbuka, dan integritas fiskal energi dapat dijaga.
Langkah ini sejalan dengan semangat Prabowo untuk membangun negara kuat berbasis teknologi dan kedaulatan sumber daya nasional.
Digitalisasi subsidi energi juga akan memperkuat kredibilitas Indonesia di mata dunia, menunjukkan bahwa pemerintah serius membangun transisi energi yang jujur, efisien, dan akuntabel.
Untuk itu, revisi Perpres 112/2022 perlu memiliki kerangka perubahan (skeleton) yang tegas dan modern. Beberapa poin penting yang ideal dimasukkan antara lain:
1. Penegasan larangan pembangunan PLTU baru, kecuali dengan penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) dengan tingkat penangkapan karbon minimal 90%.
2. Kewajiban penerapan smart meter dan sistem digital terintegrasi pada seluruh pembangkit EBT dan pelanggan bersubsidi, sebagai dasar perhitungan subsidi, produksi, dan feed-in tariff.
3. Penetapan mekanisme subsidi transisi energi, menggantikan subsidi konsumsi berbasis daya listrik.
4. Pembentukan Platform Data Energi Nasional, yang memantau konsumsi, subsidi, dan emisi karbon secara real-time dengan keterbukaan publik.
5. Sinkronisasi harga EBT (Feed-in Tariff) dengan biaya aktual sistem PLN, agar investor EBT dan masyarakat produsen listrik hijau mendapat kepastian ekonomi.
Dengan kerangka itu, Perpres 112/2022 tidak hanya menjadi dokumen administratif, tetapi menjadi mesin kebijakan transisi energi nasional yang selaras dengan arah pemerintahan baru.
Presiden Prabowo memiliki peluang sejarah untuk menorehkan warisan besar: membangun sistem energi nasional yang adil, transparan, dan berdaulat. Reformasi subsidi yang berpihak pada energi bersih bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga pernyataan moral bahwa
Indonesia ingin tumbuh dengan tanggung jawab. Karena menuju Net Zero Emission 2060 bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal keberanian memimpin perubahan dengan keadilan.
Dan di bawah kepemimpinan yang kuat serta berpihak pada rakyat, Indonesia siap membuktikan bahwa subsidi berkeadilan adalah jalan menuju kedaulatan energi dan masa depan hijau Nusantara.
(miq/miq)