Pariwisata Ciptakan Konektivitas

Saat ini, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sedang menunggu selesainya proses Re-Sertifikasi Destinasi Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Sustainable Tourism Certification (ISTC), yang assessment-nya telah dilaksanakan pada 5-6 September 2022 di Bali. Sebelumnya di tahun 2019, The Nusa Dua, kawasan pariwisata yang dikembangkan dan dikelola ITDC, berhasil menjadi destinasi pariwisata pertama di Indonesia yang meraih Sertifikat Peringkat Emas Nasional Destinasi Pariwisata Berkelanjutan Indonesia atau Gold Indonesia Sustainable Tourism Certification (Gold ISTC) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Bagi sebagian kalangan, sertifikat ini ibaratnya hanya selembar kertas. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana nilai yang terkandung dalam penyusunan, perencanaan, implementasi dan pemeliharaan sebuah kawasan destinasi pariwisata yang berkelanjutan, dapat dipadukan dengan komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen adalah kunci, yang dapat terbangun jika terdapat kesepahaman di antara semua pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan sebuah kawasan destinasi wisata.
Dalam kesempatan memperingati World Tourism Day 2022 dengan tema Rethinking Tourism yang jatuh pada tanggal 27 September, menarik kiranya untuk berbagi ide pemikiran mengenai konsep Tourism Creates Connectivity atau Pariwisata Ciptakan Konektivitas, yang menjadi salah satu strategi ITDC dalam menjaga komitmen untuk menciptakan dan mengelola kawasan pariwisata yang berkelanjutan.
Dengan menciptakan rasa saling percaya dan saling memahami di antara para stakeholders atau pemangku kepentingan (wisatawan, investor, karyawan, masyarakat lokal dan pemerintah), akan mampu menciptakan kebutuhan akan kolaborasi publik-swasta dalam mengelola destinasi pariwisata. Kolaborasi ini tentunya akan diwarnai dengan aneka kreativitas dan inovasi, yang akan mampu menciptakan ekosistem yang berujung pada penciptaan circular economy atau pendekatan berorientasi bisnis dan solusi untuk masalah keberlanjutan.
Stakeholder Engagement di Era Keberlanjutan
Bicara mengenai pariwisata saat ini, artinya bicara mengenai berbagai macam keadaan dan konteks yang melibatkan para pemangku kepentingan di dalamnya. Tidak hanya sekedar menginformasikan dan tentang bagaimana pemangku kepentingan dilibatkan, namun ada pula pemikiran tentang bagaimana penerapan konsep pemangku kepentingan untuk pengelolaan kawasan dan destinasi pariwisata.
Hal ini disebabkan karena pengertian konsep pariwisata yang terus mengalami perkembangan. Menurut Wang & Fesenmaier (2007), pariwisata adalah sektor yang terfragmentasi, membutuhkan koordinasi yang bertujuan untuk memastikan koherensi persepsi dan penyampaian. Praktisi pariwisata di semua tingkatan mengakui pengaruh orang lain pada kegiatan organisasi dan menghargai juga bahwa tindakan mereka berdampak bagi orang lain. Adalah tantangan utama bagi manajer pariwisata kontemporer untuk menyinkronkan dinamisasi, kekuatan bersaing, kepentingan dan kebutuhan sumber daya dari kelompok pemangku kepentingan yang berbeda melalui penataan efektif hubungan antar-organisasi.
March & Wilkinson (2009) membuktikan bahwa keberhasilan suatu destinasi dicapai melalui bagaimana pemangku kepentingan destinasi saling terhubung dan juga bagaimana cara pemangku kepentingan bertindak dan berinteraksi bersama dalam beberapa kegiatan kolaborasi (stakeholder engagement). Bidang kegiatan yang termasuk dalam kolaborasi pariwisata ini seringkali dapat melibatkan isu-isu seperti kebijakan pariwisata, manajemen destinasi, pengembangan produk, branding dan promosi, praktik terbaik dan keberlanjutan.
Adapun elemen-elemen yang harus dipertimbangkan dalam upaya pelibatan pemangku kepentingan pariwisata dalam pengelolaan destinasi kolaboratif adalah: 1) Struktur; 2) Keanggotaan; 3) Aktivitas; dan 4) Manfaat dan tantangan. Dalam elemen pertama (Struktur), isu kepemimpinan adalah yang utama karena pelibatan para pemangku kepentingan ini sangat membutuhkan pemimpin dengan tingkat visi, keberanian dan ketekunan yang tinggi sehingga para pemangku kepentingan termotivasi dan bersemangat untuk terlibat dalam aktivitas destinasi.
Dalam elemen berikutnya (Keanggotaan), faktor relasional yang mempengaruhi interaksi pemangku kepentingan adalah orientasi hubungan, kepercayaan, komunikasi, pembelajaran, kekuasaan, timbal balik dan komitmen pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang memiliki karakteristik yang sama, membawa manfaat dari saling ketergantungan yang dirasakan, keselarasan nilai yang kuat, sehingga meningkatkan kepuasan, komitmen, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Selanjutnya elemen ketiga (Aktivitas), dimana efektivitas dari aktivitas pelibatan pemangku kepentingan sangat bergantung pada alokasi tingkat waktu, sumber daya, dan kepemimpinan yang diperlukan. Sedangkan elemen keempat (Manfaat dan Tantangan), yakni kolaborasi di antara pemangku kepentingan destinasi dapat memberikan nilai tambah bagi destinasi, melalui sharing pengetahuan yang dapat meningkatkan inovasi dan kemampuan beradaptasi dalam lingkungan persaingan yang dinamis.
Dengan kata lain, ini sebuah keuntungan kolaboratif, yang mampu menggambarkan manfaat yang diinginkan dan hasil sinergis dari aktivitas kolaboratif. Namun apakah sebuah tujuan mampu mencapai keuntungan kolaboratif atau tidak, ini sangat tergantung adanya nilai-nilai kolaboratif, hubungan apresiatif dan kepercayaan saling ketergantungan antara para pemangku kepentingan itu sendiri.
Pariwisata Ciptakan Konektivitas
Di ITDC, kami berusaha menciptakan konektivitas melalui 5 kelompok pemangku kepentingan yang menjadi elemen penting dalam menjalankan bisnis menciptakan destinasi wisata. Kelimanya adalah wisatawan, investor, karyawan, masyarakat lokal dan pemerintah. Ketika berkomunikasi dengan masing-masing kelompok tadi, kami selalu berfokus pada tujuan yang ingin dicapai.
Wisatawan tentunya ingin mendapatkan kepuasan saat berwisata. Bagi investor, hal yang ingin diperoleh tentunya mendapatkan hasil investasi sesuai harapan. Bagi karyawan, harapan utama mereka bisa bekerja dengan tenang dan nyaman. Untuk masyarakat lokal, kesejahteraan dan kemandirian adalah dua hal yang ingin dicapai dengan keberadaan destinasi wisata. Sedangkan bagi pemerintah selaku pimpinan kami sebagai BUMN, tujuan utama adalah memberikan hasil karya terbaik kepada negara.
Dikaitkan dengan empat elemen pengelolaan destinasi kolaboratif di atas, ITDC berusaha menerapkannya dalam setiap kebijakan yang diambil. Di ITDC, elemen Struktur dijabarkan melalui struktur organisasi yang sangat sistematis, ringkas dengan jenjang hirarki yang tidak terlalu panjang. Tujuannya supaya pemimpin organisasi mampu turut serta bertukar ide dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan para pemangku kepentingan.
Misalnya dalam kegiatan pelatihan mekanik sepeda motor di The Mandalika yang diselenggarakan ITDC, bekerjasama dengan Astra Honda Authorized Service Station (AHASS) dan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Oktober 2021. Ini merupakan sebuah bentuk kolaborasi yang dapat terjadi dengan koordinasi yang baik antar beberapa organisasi, berkat elemen struktur yang tertata dengan apik.
Di elemen Keanggotaan, ITDC selalu berusaha mempertahankan komitmen untuk bisa memberikan hasil terbaik. Kami juga selalu belajar mendengar hal-hal yang diinginkan para stakeholders dan terus mengkomunikasikan nilai-nilai ke semua pihak supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Misalnya di The Nusa Dua yang merupakan anak perusahaan ITDC, kami mempertahankan konsep arsitektur tradisional Bali beserta kesesuaian lansekap bentang alam pantai di sekitarnya, sehingga keberadaan destinasi wisata ini bisa diterima banyak pihak. Ini merupakan wujud nyata adanya apresiasi terhadap kearifan lokal yang ada.
Pada elemen Aktivitas, manajemen ITDC selalu berkoordinasi baik dengan semua stakeholders yang ada. Dengan komunikasi dan koordinasi yang baik di antara semua pihak, efektifitas dan efisiensi kebijakan pun dapat dipertahankan. Sedangkan pada elemen Manfaat dan Tantangan, ITDC telah banyak mengadakan kegiatan kolaborasi, yang mampu memberikan keuntungan kolaboratif.
Untuk menjalankan strategi di atas, dibutuhkan inovasi dan kreativitas dari para pemangku kepentingan. Kedua hal ini penting dan menjadi kunci dalam pengembangan destinasi wisata, karena mampu menjawab permasalahan yang ada serta menghadirkan terobosan baru. Dari kreativitas dan inovasi inilah, akan mampu menciptakan sebuah ekosistem yang saling mengaitkan seluruh kepentingan para stakeholders kami. Salah satu contohnya adalah Pembentukan Covid Alert Team (CAT) di The Nusa Dua. Program CAT merupakan inovasi baru dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19 di lingkungan hotel melalui penyediaan panduan dan tata laksana pencegahan Covid-19 yang mudah diaplikasikan dan diterapkan.
Dalam perjalanannya, ITDC juga berhasil menjalankan bisnis inklusi di mana bekerja sama dengan pihak lain seperti komunitas masyarakat lokal--termasuk kelompok marjinal--untuk mempromosikan dan mengimplementasikan bisnis tertentu. Yang dimaksud dengan bisnis inklusi sendiri adalah sebuah bisnis yang berusaha menguntungkan semua pihak, yang masuk dalam rantai nilai bisnis tersebut. Implementasinya, ITDC telah melakukan peningkatan kualitas Paguyuban Pedagang Pantai The Nusa Dua Bali, yang terdiri atas 468 pedagang, baik melalui penataan area usaha maupun pemberian pelatihan secara berkesinambungan.
Selama menjalankan bisnisnya, ITDC juga berfokus pada konsep pariwisata holistis, yakni konsep pariwisata yang tidak hanya menyangkut destinasi wisatanya saja, melainkan juga mengenai pariwisata yang ramah lingkungan serta tenggang rasa terhadap lingkungan. Pembangunan dan pengembangan pariwisata yang dilaksanakan di dua kawasan pariwisata yang dikembangkan dan dikelola ITDC ini, yakni The Nusa Dua Bali dan The Mandalika Lombok, NTB. memang dirancang dengan mengedepankan bingkai integrasi yang partisipatif dan holistik dengan peran serta seluruh pemangku kepentingan seperti pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan dan LSM pariwisata.
Dari kombinasi semua hal yang telah disebutkan di atas tadi, kami sangat berharap strategi pengembangan kawasan pariwisata yang dijalankan mampu menciptakan circular economy. Menurut Sørensen dan Jørgen (2020), yang dimaksud circular economy adalah sebuah pendekatan berorientasi bisnis dan solusi untuk masalah keberlanjutan. Hal ini mengacu pada proses produksi dan konsumsi yang membatasi penggunaan sumber daya (non-renewable) dan menghasilkan hampir tidak ada limbah atau sisa-sisa produksi dan adanya konsumsi daur ulang.
Sebagai pemilik dan pengelola daerah tujuan wisata, ITDC terus berupaya menjalin konektivitas dengan semua partner-nya. Penciptaan destinasi pariwisata yang penuh inovasi, holistik dan berkelanjutan, juga terus kami lakukan dalam rangka mewujudkan circular economy yang membawa banyak manfaat bagi semua pihak. Karena itu, penting sekali menghadirkan hubungan dan interaksi dalam segala kegiatan pengelolaan destinasi wisata yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan atau stakeholders yang berkepentingan. Karena selanjutnya, pariwisatalah yang akan menghadirkan konektivitas di antara mereka.
(miq/miq)