Desmon Silitonga
Desmon Silitonga

Desmon Silitonga merupakan lulusan sarjana sains dari Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan lanjutannya di Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Universtas Indonesia. Sejak tahun 2010 memulai karier di industri pasar modal, khususnya pengelolaan dana (Manager Investasi) sebagai riset analis. Dan, saat ini masih tetap menekuni sebagai riset analis di PT Capital Asset Management.

Profil Selengkapnya

Mahalnya Ongkos Ekonomi Pandemi Covid-19

Opini - Desmon Silitonga, CNBC Indonesia
02 May 2020 14:40
Suasana Stasiun Bogor di PSBB hari Pertama (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki) Foto: Suasana Stasiun Bogor di PSBB hari Pertama (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

                          "We're not going to put a dollar figure on human life (Andrew Cuomo, Gubernur New York, AS)


Pandemi Covid-19 telah mengguncangkan kehidupan manusia di semesta ini. Bagaimana tidak, meski virus ini berukuran renik dan tak kasat mata, tetapi dapat menciptakan krisis kemanusiaan dan krisis ekonomi. 

Krisis kemanusiaan itu tercermin dari bertambahnya jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal dunia setiap hari. Sampai dengan Kamis (30/4/2020), secara global, jumlah orang terinfeksi dan meninggal dunia masing-masing mencapai 3,2 juta jiwa dan 227.000 jiwa.

Jumlah ini masih berpotensi bertambah, karena belum bisa dipastikan, kapan puncak pandemi ini akan berakhir. Vaksin penangkal masih dalam proses uji coba, sehingga, untuk mengurangi korban jiwa dan beban sektor kesehatan, maka kebijakan pencegahan menjadi hal yang lebih rasional untuk menekan penyebaran infeksi, baik melalui penguncian wilayah (lockdown) maupun dengan jaga jarak aman (social distancing)


Tekanan Ekonomi

Meski begitu, kebijakan pencegahan ini memberikan konsekuensi pada melambatnya roda perekonomian. Sisi penawaran dan permintaan sekaligus mengalami tekanan.

Proyeksi ekonomi Dana Moneter International (IMF) yang dirilis pada awal April lalu menyimpulkan bahwa perekonomian dunia tahun ini akan memasuki fase resesi sepanjang tahun ini. Bahkan, diperkirakan menyerupai krisis besar (great depression) tahun 1930 di Amerika Serikat. 

Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan terkontraksi (negatif) sebesar 3% (year on year/yoy). Lebih buruk dari proyeksi awal tahun ini sebesar 3,3% (yoy). Negara-negara maju akan mengalami kontraksi yang sangat besar. Ada pun, Indonesia diperkirakan masih bisa tumbuh positif sebesar 0,5% (yoy).  

FILE PHOTO: The International Monetary Fund (IMF) headquarters building is seen ahead of the IMF/World Bank spring meetings in Washington, U.S., April 8, 2019. REUTERS/Yuri Gripas/File PhotoFoto: Kantor pusat Dana Moneter Internasional (IMF) (REUTERS/Yuri Gripas)
FILE PHOTO: The International Monetary Fund (IMF) headquarters building is seen ahead of the IMF/World Bank spring meetings in Washington, U.S., April 8, 2019. REUTERS/Yuri Gripas/File Photo


Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi dunia akan kembali pulih tahun 2021 sebesar 5,8% (yoy). Namun, hal ini terjadi dengan asumsi bahwa pandemi ini akan berakhir di ujung semester I-200.

Masalahnya, sampai sekarang belum ada permodelan matematika yang akurat untuk menentukan puncak pandemi. Kita sama-sama lihat masih banyak negara yang mulai memasuki fase awal serangan. Salah satunya kawasan Afrika. Bahkan, ada ramalan bahwa Covid-19 bisa melakukan serangan gelombang kedua. 

Pandemi ini juga memacetkan dan merusak rantai pasok global (global supply chain/GSC) dan menekan harga komoditas global. Menurut ramalan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), volume perdagangan global akan terkontraksi sebesar 13-32% akibat pandemi ini.  


Terkontraksinya pertumbuhan ekonomi dan perdagangan global ini memberikan tekanan di sektor tenaga kerja. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan melanda banyak negara. Amerika Serikat, misalnya, tingkat penganggurannya berdasarkan ramalan bisa berpotensi melesat menjadi 32% dari saat ini 4,3%.

Organisasi Buruh International (ILO) mengestimasi bahwa pandemi ini akan menambah jumlah pengangguran baru sebanyak 25 juta orang secara global. Situasi yang sama juga telah terjadi di Indonesia. Sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa sudah lebih dari jutaan orang mengalami PHK dan dirumahkan.

Gelombang PHK ini pun masih berpotensi bertambah, khususnya yang berasal dari sektor informal. Berdasarkan data kementerian koperasi dan UMKM, 60% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor ini. Itulah sebabnya, jika hal ini tidak dapat dimitigasi dengan kebijakan yang tepat dan terukur, maka bisa memicu dampak sosial yang lebih luas. Kepercayaan terhadap otoritas bisa menurun. Hal ini tentu tidak diharapkan. 

Selain itu, pandemi ini juga mengganggu stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan. Tingginya ketidakpastian dan muramnya prospek ekonomi meningkatkan kecemasan pemodal global.

Imbasnya, tekanan jual di pasar keuangan, khususnya emerging market tak terhindarkan. Pemodal memilih melakukan rotasi ke aset yang dianggap aman (dolar, emas, dan lainnya) atau memilih memang uang tunai (cash).

Implikasinya, harga saham dan obligasi berguguran, khususnya di pasar modal Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan lebih dari 20% sejak awal tahun dengan volatilitas yang sangat tinggi.

Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melompat ke level 8% dari awal tahun di level 7% yang memberikan konsekuensi pada mahalnya ongkos penerbitan SBN oleh pemerintah. Imbas dari melelehnya harga aset-aset keuangan ini membuat kekayaan para taipan di Indonesia banyak yang menciut. 

Meningkatnya tekanan jual di pasar keuangan itu berdampak langsung pada pelemahan dan gejolak nilai tukar rupiah. Nilai tukar rupiah sempat melemah lebih dari 20% sejak awal tahun, khususnya sepanjang Maret 2020.

Untuk meredakan tekanan dan gejolak rupiah, Bank Indonesia (BI) harus mengeluarkan seluruh jurus moneternya. Salah satunya kebijakan Triple Intervention. Ini merupakan jurus satu pukulan yang langsung menyasar tiga target sekaligus, yaitu pasar spot, pasar Non Delivery Forward (NDF), dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Hasilnya, sepanjang Maret 2020, kocek cadangan devisa (cadev) harus tergerus sebesar US$ 9,6 miliar. 

Ongkos Ekonomi 

Di tengah kondisi yang sangat suram ini, maka seluruh negara dan otoritas moneter harus memberikan obat pereda rasa sakit berupa stimulus agar krisis kemanusiaan dan ekonomi ini tidak semakin memburuk dan membuat kejatuhan ekonomi yang makin dalam. 

Triliunan dolar AS dipompa ke kocek masyarakat dan sistem keuangan untuk mengangkat daya beli masyarakat, mencegah kejatuhan harga aset keuangan, mencengah kebangkrutan dunia usaha, mencegah ledakan PHK, dan mencegah korban jiwa yang lebih besar.

Ongkos ekonomi untuk menanggulangi pandemi ini sangat besar nilainya. Bahkan, ongkos ekonomi ini masih berpotensi bertambah, jika puncak pandemi meleset dari ramalan.

Implikasinya, pascameredanya pandemi ini, maka kita akan menemukan beban fiskal di banyak negara, khususnya negara-negara berkembang akan terus menggembung. Sampul majalah The Economist edisi 25 April 2020-1 Mei 2020 sangat tepat menggambarkan kondisi ini, yaitu after the disease, the debt.

Di tengah situasi inilah, akan ada beberapa negara yang tergoda untuk mengaktifkan kembali mesin ekonominya, meski pandemi ini benar-benar belum selesai dengan tujuan untuk menekan ongkos ekonomi. Meski tak sedikit juga dengan tujuan politis.

Namun, seperti kutipan Gubernur, New York, AS di atas bahwa "kami tidak akan meletakkan nilai dollar pada kehidupan manusia". Ekonomi yang hancur masih bisa kembali dibangun. Namun, manusia yang mati, tidak bisa kembali dibangunkan.

Kearifan pemimpin dunia sangat dibutuhkan di tengah pandemi yang merusak sendi-sendi kemanusiaan dan ekonomi ini. Kerjasasama dan solidaritas global harus diperkuat.

Bukan kebalikannya, malah bersikap cuek dan anti pengetahuan seperti yang dipertontonkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Imbasnya, masyarakat AS harus menanggung kesusahan dari buruknya kepemimpinan Donald Trump ini. AS menjadi negara yang jumlah infeksi terbesar.

Kita tidak berharap, kepemimpinan seperti itu terjadi di Indonesia yang saat ini juga masih berjuang melawan pandemi ini.

Kita berharap bahwa para pemimpin bekerja dengan kesungguhan dan dapat dipercaya untuk memperjuangkan keselamatan jiwa dan raga masyarakatnya.

Tentu, di atas semua itu, kontribusi dan kedisiplinan seluruh warga bangsa sangat penting. Untuk menang melawan pandemi ini, semua harus berkontribusi. Semoga Indonesia bisa bertahan dan menang menghadapi pandemi ini. 


[Gambas:Video CNBC]



 

(tas/tas)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading