Waspadai Guncangan Ekonomi dari China

Farhan Abdul Majiid, CNBC Indonesia
21 August 2023 17:10
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid merupakan mahasiswa pascasarjana di School of Transnational Governance, European University Institute, Italia. Ia menekuni berbagai isu nasional dan global dari perspektif ekonomi politik. Sebelumnya pada tahun 2019, Farhan mendapat gel.. Selengkapnya
A Chinese flag is raised during a medal ceremony for the women's freestyle skiing big air at the 2022 Winter Olympics, Tuesday, Feb. 8, 2022, in Beijing. (AP Photo/Jae C. Hong)
Foto: Bendera China (AP Photo/Jae C. Hong)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Akhir pekan ini, guncangan dari China membuat pasar internasional mengalami kepanikan. Pemulihan ekonomi pasca-Covid di China belum mampu mengembalikan kondisi prapandemi, ditambah dengan pecahnya gelembung pasar properti, dan untuk memperparah keadaan, ketegangan geopolitik dengan AS mengurangi kelincahan China dalam pasar global. Berkaca dari pengalaman Krisis Finansial Global tahun 2008, kita perlu mewaspadai gejolak ini.

Ragam Tanda yang Tidak Menyenangkan
Laporan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2023 dari Biro Pusat Statistik China menunjukkan ekonomi China hanya bertumbuh 0,8% pada April-Juni 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,3%.

Data ini menunjukkan performa ekonomi China belum benar-benar pulih dari masa pandemi Covid-19. Pada periode 2010-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi China berada di angka 7,67%, meski memang sejak tahun 2012 menunjukkan tren penurunan dan tidak pernah kembali pada pertumbuhan double digit seperti pada dekade sebelumnya.

Di samping pertumbuhan ekonomi yang masih belum melampaui ekspektasi, China juga dihadapkan pada guncangan sektor properti. Pengembang properti terbesar China, Evergrande, baru saja mengajukan perlindungan kebangkrutan dari Pengadilan AS. Ini merupakan kulminasi dari gunjang-ganjing perusahaan tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2021, Evergrande sudah menunjukkan tanda-tanda kerapuhannya. Pandemi Covid-19 membuat perusahaan tersebut mengalami kesulitan likuidasi, dan terkini, mereka harus mengatasi utang sebesar US$ 300 miliar, terbesar di dunia untuk perusahaan properti. Mangkraknya berbagai proyek pembangunan Evergrande di kota-kota di China pun menunjukkan masalah telah sampai pada pihak konsumen.

Kebijakan proteksionisme ekonomi dari AS, terkhusus pada barang produksi China, yang berlangsung sejak masa Donald Trump dan berlanjut di bawah kepresidenan Joe Biden, turut memperparah kondisi ekonomi China. Invasi Rusia terhadap Ukraina juga semakin meningkatkan ketidakpercayaan AS terhadap China secara politik, yang berkonsekuensi pada menurunnya kepercayaan di bidang ekonomi.

Sebelumnya, pasar AS merupakan pemasok permintaan terbesar bagi barang produksi China. China juga dipilih sebagai sentra produksi bagi perusahaan asal AS karena keunggulan komparatifnya berupa murahnya ongkos faktor-faktor produksi.

Walau begitu, seiring dengan meningkatnya pendapatan rata-rata masyarakat China, mereka kehilangan keunggulan tersebut dan membuat migrasi pabrik-pabrik ke luar China, termasuk ke Asia Selatan seperti India dan Asia Tenggara seperti Vietnam.

Berkurangnya permintaan global terhadap barang produksi China berkonsekuensi pada meningkatnya angka pengangguran. Terbaru, Biro Pusat Statistik China bahkan menghentikan rilis angka pengangguran, setelah dalam beberapa bulan terakhir mencetak rekor tertinggi dalam sejarah China kontemporer. Rilis terakhir di bulan Juni 2023 menunjukkan angka 21,3% pengangguran pada penduduk usia di bawah 25 tahun, terburuk dalam empat dekade terakhir.

Rem Mendadak Mesin Penggerak?
Pertumbuhan ekonomi China dalam empat dekade terakhir memang teramat impresif. Pada tahun 1990, sebanyak 90% penduduk China masih hidup dengan penghasilan di bawah US$ 3,20 dolar per hari. Di tahun 2019 hanya tersisa 1,7% saja. Ini menunjukkan peningkatan kesejahteraan masif di negeri berpenduduk terbesar dunia ini.

Reformasi ekonomi China, melalui pembukaan tirai bambunya kepada pasar internasional, terbukti menjadikan China sebagai negara industri utama dunia. Sebuah adagium terkenal menyebut, jika Eropa berhasil menjadi negara industri dalam tiga generasi dan Jepang dalam dua generasi, maka China cukup hanya dalam satu generasi. Berbagai indikator yang ada mendukung pernyataan ini.

Bahkan, ketika ekonomi global mengalami guncangan hebat di tahun 2008-2010 akibat krisis Finansial yang bermula di AS dan berlanjut ke Eropa melalui Krisis Zona Euro, China tetap tumbuh secara impresif. Dalam tiga tahun tersebut, ekonomi China tumbuh masing-masing sebesar 9,7%, 9,4%, dan 10,6%. China pun menyalip Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan mendapat julukan sebagai "mesin penggerak pertumbuhan global".

Akan tetapi, pertanda yang terjadi seolah menyiratkan perlambatan gerak dari mesin pertumbuhan ini. Pertumbuhan ekonomi China di kuartal kedua tahun ini memang masih di atas rata-rata proyeksi pertumbuhan global yang hanya 3%.

Namun, jika perlambatan di China berlanjut, dapat diperkirakan pertumbuhan global pun ikut mengalami penurunan, mengingat besarnya skala ekonomi China. Jangan sampai, kisah stagnansi Jepang dalam tiga dekade terakhir sesudah menjadi percontohan kesuksesan pembangunan ekonomi sepanjang abad 20 terulang oleh China.

Potensi Dampak Bagi Indonesia
Melambatnya pertumbuhan ekonomi China dapat membawa kabar buruk bagi Indonesia. Hubungan saling-ketergantungan ekonomi antara China dan Indonesia semakin erat dalam dua dekade terakhir, yang artinya apabila terjadi guncangan di satu pihak akan turut menggoyang pihak lainnya.

Pada saat Krisis Finansial Global terjadi, salah satu faktor utama tetap tumbuhnya ekonomi Indonesia adalah adanya permintaan dari China, sehingga bisa mengompensasi menurunnya permintaan dari pasar global yang melesu. Terkini, kebijakan hilirisasi industri nikel oleh pemerintah Indonesia juga sebagian besar ditopang oleh permintaan industri kendaraan listrik dari China, dan dapat membantu Indonesia untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi pasca-pandemi.

Dalam satu tahun terakhir (Juni 2022-Juni 2023), perdagangan antara Indonesia dan China mengalami penurunan. Ekspor Indonesia ke China hanya sebesar 5.5 Milyar Dolar AS di bulan Juni 2023, turun 10.3% dari bulan Juni 2022 sebesar 6.13 Milyar Dolar AS.

Impor Indonesia dari China pun turun, dari 6.54 Milyar Dolar AS pada Juni 2022 menjadi 5.29 Milyar Dolar AS pada Juni 2023. Padahal, China saat ini sudah menjadi destinasi ekspor utama Indonesia.

Dari dalam negeri, kondisi ekonomi Indonesia juga sedang kurang menggembirakan. Berbagai BUMN Karya, yang selama ini menjadi penggerak bagi pembangunan infrastruktur, menunjukkan persoalan yang terus bermunculan. Mulai dari dugaan korupsi melalui proyek fiktif hingga dugaan manipulasi laporan keuangan membuat likuidasi mereka bermasalah.

Dari sisi konsumen, survei BI di bulan Juli juga mendorong kewaspadaan serupa. Indeks Keyakinan Konsumen, Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini, dan Indeks Ekspektasi Konsumen menunjukkan penurunan berturut-turut sejak bulan April. Selain itu, perdagangan di masyarakat juga mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh penurunan Indeks Penjualan Riil yang turun.

Kekhawatiran akan pecahnya gelembung pinjaman online berbunga tinggi juga menyeruak di masyarakat. Meski pinjaman online bisa mendongkrak konsumsi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat simpanan dan konsumsi masyarakat karena terjerat oleh hutang. Terlebih, sampai saat ini masih dijumpai berbagai platform penyedia pinjaman online ilegal yang bisa semakin memperlambat ekonomi di masyarakat.

Kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya sehat meningkatkan risiko krisis akibat guncangan dari eksternal. Kita tentu berharap bahwa perlambatan ekonomi di China tidak berdampak parah ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mencari berbagai alternatif pertumbuhan selain melalui perdagangan dan investasi dari China. Pemerintah juga perlu menjaga pendapatan masyarakat agar tingkat konsumsi terjaga.

Besarnya gagal bayar sektor swasta berkontribusi besar dalam krisis Indonesia tahun 1998, begitupun hancurnya gelembung pasar properti menjadi penyulut krisis Finansial Global tahun 2008, sementara kacaunya transparansi data perekonomian oleh pemerintah menjadi pendorong Yunani hingga terjungkal di Krisis Euro tahun 2009. Tiga krisis ekonomi yang telah lalu menunjukkan pentingnya pengelolaan hutang baik sektor publik maupun privat, sehatnya pasar properti, dan transparansi data ekonomi oleh pemerintah.

Pemerintah perlu mengelola pelajaran dari krisis yang telah lalu ini untuk menjaga faktor risiko dari potensi krisis. Kita pun perlu meneropong kondisi di luar negeri, terutama dari negara ekonomi utama dunia seperti China, dalam pengelolaan faktor-faktor ini, karena dapat memantik guncangan pasar di dalam negeri. Dengan begitu, kita dapat menjaga momentum pemulihan pasca-pandemi dan menurunkan risiko ekonomi bagi masyarakat untuk menumbuhkan kesejahteraannya.


(miq/miq)