Anthony Kevin
Anthony Kevin

Sarjana Ekonomi yang mengawali karir sebagai ekonom di Kresna Sekuritas pada pertengahan 2015. Bersama CNBC Indonesia, dia memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik sebagai Researcher. Lulusan UNIKA Atma Jaya ini fokus meneliti pasar modal dan ekonomi makro. Pencinta kucing dan video games.

Profil Selengkapnya

Agar yang 'Bermasalah' Tak Jadi 'Macet'

Opini - Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 January 2018 14:31
Per akhir Desember 1996, nilai kredit macet perbankan nasional telah mencapai Rp 9,5 triliun.
Pada awalnya, semangat yang dibangun sangatlah bagus, yakni mempercepat pertumbuhan ekonomi di era “tinggal landas” dengan mempermudah akses publik terhadap permodalan. Maka, keluarlah Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88).

Dengan kebijakan ini, orang yang memiliki duit Rp 10 miliar pun bisa membuka satu bank umum. Duit yang sama bisa dipakai untuk membuka 200 bank perkreditan rakyat (BPR), karena modal awal yang diperlukan jauh lebih kecil, yakni hanya Rp 50 juta.

Tak pelak, bank-bank tumbuh bagai jamur di musim hujan. Para konglomerat ramai-ramai membuka bank seperti Mochtar Riady (Bank Lippo), William Soerjadjaja (Bank Summa), Aburizal Bakrie (Bank Nusa Nasional), dan Bambang Trihatmojo (Bank Andromeda).

Sejak Pakto 88 diumumkan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) naik 473% dalam 7 tahun (1988-1995), sementara penyaluran kredit naik 365%. Secara total, pada 1996 ada 240 bank yang beroperasi, naik dobel dari posisi 1988 yang hanya 111 bank. Pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama juga konsisten tak pernah berada di bawah 6,5%.

Guna mengimbangi lonjakan penyaluran kredit, Pakto 88 pun mengatur soal regulasi dan pengawasan perbankan. Namun sayang, pelaksanaannya jauh panggang dari api, terutama dalam hal batas atas penyaluran kredit. Gencarnya penyaluran kredit juga tidak diimbangi dengan analisis resiko yang baik.

Akibatnya, tercipta kredit-kredit berkualitas buruk yang mulai menunjukkan problem sejak tahun 1990, dengan munculnya istilah ‘kredit macet’ yang menghiasi headline media-media massa nasional pada periode 1992-1993.

Selang empat tahun kemudian, ketika bank sentral Thailand mengambangkan sistem nilai tukarnya pada 1997, para spekulan melepas rupiah dan beralih ke dolar Amerika Serikat (AS), didorong persepsi negatif bahwa kredit macet masih marak di perbankan Indonesia sehingga bisa menekan prospek ekonomi negara berpasar terbesar di Asia Tenggara ini.

Per akhir Desember 1996, nilai kredit macet perbankan nasional telah mencapai Rp 9,5 triliun. Pada saat itu, Bank Indonesia (BI) hanya memiliki satu kategori untuk kredit bermasalah, yakni kredit macet.

Ketika BI mengikuti langkah Thailand mengambangkan nilai tukar pada Agustus 1997, rupiah terkoreksi hampir 40% terhadap dolar AS sampai dengan Oktober 1997. Celakanya, banyak penyaluran kredit pada masa itu yang berdenominasi dolar AS. Anjloknya nilai tukar rupiah menyebabkan kreditor megap-megap mengembalikan pinjamannya.

BI bertindak cepat dengan memeriksa kondisi keuangan bank-bank. Hasilnya, 34 bank dinyatakan bangkrut, sementara bank-bank besar berada dalam kondisi yang tidak sehat.

Situasi ini lantas diperparah oleh kejatuhan pasar keuangan Korea Selatan dan rumor negatif tentang kondisi kesehatan Presiden Soeharto, yang pada akhirnya memicu bank run atau penarikan DPK secara besar-besaran oleh nasabah. BI merespon dengan menyuntik bantuan likuiditas. Per Desember 1997, total bantuan likuiditas yang disalurkan BI mencapai Rp 35 triliun.

Namun, bantuan likuiditas dalam rupiah itu berakhir menjadi senjata makan tuan, karena dana tersebut dibawa ke pasar uang dan ditukar dengan dolar AS untuk memenuhi kebutuhan pembayaran kewajiban mereka. Imbasnya, rupiah semakin nyungsep.

Pada Januari 1998, rupiah melemah 204% dari Rp 4.600 ke Rp 14.000 per dolar AS. Usaha lanjutan BI dengan membentuk badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tidak membuahkan hasil, menyusul kerusuhan etnis pada Mei 1998 yang lagi-lagi memicu bank run, kali ini terhadap bank terbesar nasional yakni Bank BCA (pangsa pasar 12%).

Per Mei 1998, jumlah utang luar negeri swasta diperkirakan mencapai US$ 64 miliar. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) per akhir 1998 telah melesat mencapai 48,6%.

Barulah pada tahun 1999, setelah berakhirnya kerusuhan berlatar belakang SARA di Jakarta dan terpilihnya pemerintahan baru, tekanan pada sistem perbankan berhasil diredakan salah satunya melalui penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kinerja BPPN juga kian maksimal. Per akhir 1999, BPPN merestrukturisasi 13 bank dan menghapus kredit bermasalah dari pembukuan bank (write off), NPL pun melandai ke level 32,9%. Peleburan bank-bank gagal, sebagai bagian dari restrukturisasi, bersamaan dengan pengawasan bank sentral yang kian ketat berhasil mengembalikan kesehatan perbankan.

Salah satu bank hasil peleburan saat itu adalah PT Bank Mandiri Tbk, yang merupakan hasil peleburan empat bank yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia. Kini, Bank Mandiri menjadi bank beraset terbesar di Indonesia, senilai Rp 1.078 triliun (per September 2017).

Selain itu, pada Juni 2000 delapan bank menggabungkan diri dengan Bank Danamon; kedelapan bank tersebut adalah Bank Tiara Asia, Bank Nusa Nasional, Bank Tamara, Bank Rama, Bank Pos Nusantara, Bank Duta, Bank Risjad Salim Internasional, dan Bank Jaya Internasional. Bank Danamon kini memiliki total aset senilai Rp 173,7 triliun.

Sejak 2005, pengkategorian kredit bermasalah telah memasukkan kredit dengan kategori kurang lancar dan diragukan, disamping kredit macet. Data terbaru BI menyebutkan NPL di Indonesia kini berada di angka 2,93%, sangat rendah jika dibandingkan dari posisi saat krisis 1997.

Perbankan di Indonesia juga telah mengadopsi Basel I dan Basel II yang menjadi pedoman meminimalisir risiko. Terakhir, Basel III bakal diadopsi dalam waktu dekat, di mana hal ini akan semakin memperkuat regulasi, pengawasan, dan manajemen risiko perbankan di Tanah Air.***

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’

Agar yang ‘Bermasalah’ Tak Jadi ‘Macet’
(ags/ags)
Opini Terpopuler
    spinner loading
Opinion Makers
    z
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading