
Hidayat Setiaji
Lulusan Kriminologi FISIP UI yang berangan-angan melanjutkan kuliah, meski belum terwujud. Menjadi jurnalis sejak 2007, dari media lokal sampai internasional. Menggeluti jurnalisme ekonomi secara terpaksa, tapi akhirnya malah menjadi profesi tetap hingga kini. Menyukai sepakbola dan Liverpool FC.
Profil SelengkapnyaRupiah, Krismon dan Periode Kelam Indonesia
15 January 2018 12:03

Periode 1997-1998 bisa dibilang menjadi saat kelabu bagi Indonesia. Krisis moneter yang berlarut-larut berimbas menjadi krisis politik, yang ditandai jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Pada masa itu, kata krisis moneter alias krismon begitu akrab di telinga masyarakat. Kini, sudah 20 tahun berlalu sejak masa krismon dan Indonesia disebut-sebut sudah pulih.
Sebenarnya apa itu krismon? Kata moneter tentu mengacu kepada mata uang. Jadi singkatnya, krismon adalah memburuknya keadaan keuangan suatu negara yang berhubungan dengan mata uang.
Kala itu mata uang rupiah memang terpuruk. Bahkan nilai tukar rupiah pernah mencapai Rp 16.800/dolar AS, terlemah sepanjang sejarah Indonesia.
Apa penyebabnya? Ada faktor eksternal dan internal. Dari luar negeri, kala itu mata uang Asia memang berguguran. Baht Thailand, peso Filipina, won Korea Selatan, dolar Hong Kong, dan lain-lain semua tumbang. Tidak terkecuali rupiah.
Memasuki 1998, baht melemah 56%. Won terkoreksi 68%, sementara rupiah anjlok nyaris 71%. Pelemahan rupiah memang yang paling dalam kala itu.
Dari dalam negeri, Paket Oktober (Pakto) 1988 membuat sektor keuangan Indonesia begitu bebas sehingga dana asing mengalir deras ke perbankan dan pasar modal. Begitu pemerintah melepas nilai tukar sesuai harga pasar, rupiah semakin melemah. Investor asing kehilangan kepercayaan dan meninggalkan Indonesia. Rupiah yang sudah jatuh pun semakin terpuruk.
Gejolak rupiah berimbas ke seluruh sendi perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang kala itu begitu bernafsu melakukan ekspansi bermodal utang dari luar negeri kalang-kabut. Utang yang harus mereka bayar membengkak karena pelemahan rupiah.
Akibat banyaknya perusahaan yang kolaps, perbankan pun terkena getah. Kredit macet di mana-mana membuat bank merugi. Pada 1 November 1997, ada 16 bank dilikuidasi.
Tidak hanya rugi karena kredit macet, bank juga diserbu oleh masyarakat yang ingin menarik uangnya. Kepercayaan masyarakat kepada bank mencapai titik nadir.
Gara-gara dolar yang tinggi, harga barang-barang di dalam negeri pun melonjak. Maklum, Indonesia masih mengimpor barang dari luar negeri, termasuk kebutuhan pokok seperti beras, daging sapi, kedelai, gandum, dan sebagainya.
Perusahaan banyak yang tutup, harga barang melonjak, dampaknya adalah angka pengangguran dan kemiskinan meroket. Krisis moneter pun berubah menjadi gejolak sosial-politik.
Semua karena krismon...***
(ags/ags)
Pada masa itu, kata krisis moneter alias krismon begitu akrab di telinga masyarakat. Kini, sudah 20 tahun berlalu sejak masa krismon dan Indonesia disebut-sebut sudah pulih.
Sebenarnya apa itu krismon? Kata moneter tentu mengacu kepada mata uang. Jadi singkatnya, krismon adalah memburuknya keadaan keuangan suatu negara yang berhubungan dengan mata uang.
Kala itu mata uang rupiah memang terpuruk. Bahkan nilai tukar rupiah pernah mencapai Rp 16.800/dolar AS, terlemah sepanjang sejarah Indonesia.
Apa penyebabnya? Ada faktor eksternal dan internal. Dari luar negeri, kala itu mata uang Asia memang berguguran. Baht Thailand, peso Filipina, won Korea Selatan, dolar Hong Kong, dan lain-lain semua tumbang. Tidak terkecuali rupiah.
Memasuki 1998, baht melemah 56%. Won terkoreksi 68%, sementara rupiah anjlok nyaris 71%. Pelemahan rupiah memang yang paling dalam kala itu.
Dari dalam negeri, Paket Oktober (Pakto) 1988 membuat sektor keuangan Indonesia begitu bebas sehingga dana asing mengalir deras ke perbankan dan pasar modal. Begitu pemerintah melepas nilai tukar sesuai harga pasar, rupiah semakin melemah. Investor asing kehilangan kepercayaan dan meninggalkan Indonesia. Rupiah yang sudah jatuh pun semakin terpuruk.
Gejolak rupiah berimbas ke seluruh sendi perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang kala itu begitu bernafsu melakukan ekspansi bermodal utang dari luar negeri kalang-kabut. Utang yang harus mereka bayar membengkak karena pelemahan rupiah.
Akibat banyaknya perusahaan yang kolaps, perbankan pun terkena getah. Kredit macet di mana-mana membuat bank merugi. Pada 1 November 1997, ada 16 bank dilikuidasi.
Tidak hanya rugi karena kredit macet, bank juga diserbu oleh masyarakat yang ingin menarik uangnya. Kepercayaan masyarakat kepada bank mencapai titik nadir.
Gara-gara dolar yang tinggi, harga barang-barang di dalam negeri pun melonjak. Maklum, Indonesia masih mengimpor barang dari luar negeri, termasuk kebutuhan pokok seperti beras, daging sapi, kedelai, gandum, dan sebagainya.
Perusahaan banyak yang tutup, harga barang melonjak, dampaknya adalah angka pengangguran dan kemiskinan meroket. Krisis moneter pun berubah menjadi gejolak sosial-politik.
Semua karena krismon...***
![]() |
![]() |
![]() |