
Arif Gunawan
Jurnalis pencinta sastra, yang baru meraih Master of Science bidang Energi Terbarukan dari Universitas Darma Persada. Mengawali proses jurnalistik di Hayamwuruk, Penulis berkarir di Bisnis Indonesia, Bloomberg TV Indonesia, The Jakarta Post dan kini bersama CNBC Indonesia sebagai Lead Researcher.
Profil SelengkapnyaTantangan Abadi Menghapus Kesenjangan
16 January 2018 10:23

Pengangguran yang turun pada umumnya diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan suatu negara. Relasi positif ini terbangun karena semakin banyak orang yang bekerja maka, asumsinya, semakin banyak pula yang hidup sejahtera atau minimal bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kecuali, tentu saja, ketika uang yang didapatkan dari pekerjaan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Entah karena faktor pekerjaan yang menawarkan gaji terlalu rendah, atau uang gaji yang nilainya menjadi terlalu rendah.
Dalam konteks krisis moneter 1997, yang terjadi adalah yang kedua. Anomali terjadi karena pada tahun tersebut angka pengangguran turun menjadi 4,69 persen dibandingkan dengan posisi setahun sebelumnya (4,87 persen), tetapi angka kemiskinan justru naik, meski tipis, dari 17,33 persen (1996) menjadi 17,47 persen (1997).
Meski krisis moneter pada 1997 belum memukul sektor riil secara luas, sehingga belum mengganggu penyerapan kerja secara nasional, dampak krisis moneter itu secara langsung memukul seluruh masyarakat karena mereka sama-sama menghadapi kenyataan bahwa daya beli mereka nyungsep mengikuti ambruknya nilai tukar uang mereka.
Persoalan latar-belakang strata dan status pekerjaan tidak lagi relevan karena semua orang sama-sama merasakan kemampuan belanjanya menurun di tengah kenaikan harga-harga barang. Karenanya, meski ada pembukaan lapangan kerja baru yang menekan angka pengangguran, jumlah orang miskin tetap meningkat karena daya beli mereka tergerus akibat pelemahan rupiah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika dicek lebih jauh, kenaikan jumlah orang miskin pada 1997 itu terjadi di desa, dengan persentase sebesar 12,51 persen, sedangkan angka kemiskinan di kota hanya sebesar 4,82 persen.
Setahun kemudian, pada 1998, ketika pelemahan rupiah memukul sektor riil dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), angka pengangguran dan angka kemiskinan pun bergerak seirama, yakni sama-sama menguat masing-masing menjadi 5,46 persen dan 24,2 persen.
Angka kemiskinan pada tahun 1998 itu masih menjadi yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Semenjak krisis sampai dengan sekarang, angka kemiskinan terus melandai dan kembali ke level sebelum krisis pada 2007. Terakhir pada 2017 (per Maret), angka kemiskinan berada pada level 10,64 persen, menjadi angka kemiskinan terendah di Indonesia sejak krisis Asia 1997.
Hanya saja penurunan angka kemiskinan tersebut dibayangi peluang melebarnya kesenjangan ekonomi. Mengutip Credit Suisse, Indonesia adalah negara keempat paling tidak merata secara ekonomi—setelah Rusia, India, dan Thailand—dengan tingkat disparitas sebesar 49,3%. Artinya, 1 persen orang terkaya menguasai 49,3% aset yang ada di negeri ini.
Sementara itu, Oxfam Indonesia dan the International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) dalam laporan terbarunya yang dirilis Februari 2017, menyebutkan Indonesia menjadi negara terburuk keenam dalam hal kesenjangan pendapatan. Nilai kekayaan empat konglomerat terkaya setara dengan kekayaan 100 juta orang Indonesia.***
(ags/ags)
Kecuali, tentu saja, ketika uang yang didapatkan dari pekerjaan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mendasar. Entah karena faktor pekerjaan yang menawarkan gaji terlalu rendah, atau uang gaji yang nilainya menjadi terlalu rendah.
Dalam konteks krisis moneter 1997, yang terjadi adalah yang kedua. Anomali terjadi karena pada tahun tersebut angka pengangguran turun menjadi 4,69 persen dibandingkan dengan posisi setahun sebelumnya (4,87 persen), tetapi angka kemiskinan justru naik, meski tipis, dari 17,33 persen (1996) menjadi 17,47 persen (1997).
Meski krisis moneter pada 1997 belum memukul sektor riil secara luas, sehingga belum mengganggu penyerapan kerja secara nasional, dampak krisis moneter itu secara langsung memukul seluruh masyarakat karena mereka sama-sama menghadapi kenyataan bahwa daya beli mereka nyungsep mengikuti ambruknya nilai tukar uang mereka.
Persoalan latar-belakang strata dan status pekerjaan tidak lagi relevan karena semua orang sama-sama merasakan kemampuan belanjanya menurun di tengah kenaikan harga-harga barang. Karenanya, meski ada pembukaan lapangan kerja baru yang menekan angka pengangguran, jumlah orang miskin tetap meningkat karena daya beli mereka tergerus akibat pelemahan rupiah sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika dicek lebih jauh, kenaikan jumlah orang miskin pada 1997 itu terjadi di desa, dengan persentase sebesar 12,51 persen, sedangkan angka kemiskinan di kota hanya sebesar 4,82 persen.
Setahun kemudian, pada 1998, ketika pelemahan rupiah memukul sektor riil dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), angka pengangguran dan angka kemiskinan pun bergerak seirama, yakni sama-sama menguat masing-masing menjadi 5,46 persen dan 24,2 persen.
Angka kemiskinan pada tahun 1998 itu masih menjadi yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Semenjak krisis sampai dengan sekarang, angka kemiskinan terus melandai dan kembali ke level sebelum krisis pada 2007. Terakhir pada 2017 (per Maret), angka kemiskinan berada pada level 10,64 persen, menjadi angka kemiskinan terendah di Indonesia sejak krisis Asia 1997.
Hanya saja penurunan angka kemiskinan tersebut dibayangi peluang melebarnya kesenjangan ekonomi. Mengutip Credit Suisse, Indonesia adalah negara keempat paling tidak merata secara ekonomi—setelah Rusia, India, dan Thailand—dengan tingkat disparitas sebesar 49,3%. Artinya, 1 persen orang terkaya menguasai 49,3% aset yang ada di negeri ini.
Sementara itu, Oxfam Indonesia dan the International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) dalam laporan terbarunya yang dirilis Februari 2017, menyebutkan Indonesia menjadi negara terburuk keenam dalam hal kesenjangan pendapatan. Nilai kekayaan empat konglomerat terkaya setara dengan kekayaan 100 juta orang Indonesia.***
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |