Mengembangkan Lagi Sayap Ekonomi Garuda
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
16 January 2018 11:49

Raditya Hanung
Pria Sagitarius yang baru saja berkecimpung di dunia jurnalistik dengan bergabung di CNBC Indonesia sebagai Researcher, setelah berkarir sebagai Tenaga Ahli di Kementerian PPN/ Bappenas. Saat ini berjuang meraih gelar Magister Ekonomi (prodi Perencanaan da..
Selengkapnya

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pertumbuhan ekonomi memang bukan segala-galanya, tapi tanpanya tidak akan ada apa-apa, demikianlah ekonom Swiss Thomas Straubhaar menggarisbawahi pentingnya aspek ekonomi, mengonfirmasi teori base structure dan super structure-nya Karl Marx.Ekonomi, sebagai struktur dasar peradaban, menopang segala aspek kehidupan di atasnya mulai dari politik, sosial, teknologi, budaya. Karenanya, pergerakan dan pertumbuhannya menjadi salah satu indikator penting dalam pengukuran kesejahteraan sebuah negara.
Ketika ekonomi tak bertumbuh dan malah berbalik minus, maka kesejahteraan masyarakat dipastikan terpukul. Tak heran, pemerintah dan bank sentral mati-matian bekerja sama menjaga ekonomi dan menetapkan tipe kebijakan yang diperlukan: pelonggaran untuk merespon ekonomi yang sedang kontraksi (minus) dan pengetatan ketika ekonomi tumbuh terlalu cepat hingga memicu inflasi tinggi (overheating).
Sebelum krisis Asia 19997-1998, pemerintah Orde Baru menggenjot perekonomian dalam era “tinggal landas”, yang sayangnya tidak dibarengi prinsip kehati-hatian. Pertumbuhan ekonomi memang melaju kencang tiga tahun sebelum krisis datang (kisaran 7,5-8,2 persen pada 1994-1996), tetapi ekspansi yang kebablasan (khususnya kebebasan perbankan dalam menyalurkan kredit) justru membuat sistem ekonomi menjadi rentan.
Saat krisis Asia 1997-1998 menerpa, perekonomian kolaps hanya dalam waktu kurang dari setahun, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -13,13 persen pada 1998. Konsumsi rumah tangga dan pemerintah melemah 7,1 persen akibat lemahnya pendapatan riil dan inflasi tinggi. Sementara itu, investasi swasta jatuh lebih parah (-33 persen) karena utang dalam dolar AS melonjak nilainya, sementara pendapatannya dalam rupiah (currency mismatch).
Jika ditelisik lebih jauh, sektor bangunan mengalami kontraksi terbesar yakni 36,4 persen akibat lonjakan harga bahan bangunan, menurunnya permintaan, dan besarnya beban utang pengembang dan kontraktor. Sektor keuangan menyusul dengan pelemahan sebesar 26,6 persen didorong sub-sektor perbankan yang mengalami rugi selisih kurs dan membengkaknya kredit bermasalah (non performing loan/ NPL).
Lebih dari satu dekade setelah krisis Asia 1997-1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tren kenaikan didorong oleh meningkatnya harga komoditas utama global, seperti crude palm oil (CPO), minyak mentah, dan batu bara. Perlambatan yang signifikan hanya terjadi pada 2009, saat terjadi krisis keuangan global yang dipicu krisis subprime mortgage di Amerika Serikat pada 2008.
Hanya saja, pemerintah kali itu telah menerapkan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial sehingga bisa menjaga ekonomi dan sistem keuangan. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi 2009 terjaga di 4,63 persen (tak jatuh terlalu parah dari pertumbuhan ekonomi 6-6,3 persen dua tahun sebelumnya).
Namun, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Sejak ambrolnya harga komoditas dunia seperti CPO dan batu bara pada 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat, dengan tren yang masih terbaca hingga hari ini.
Celakanya, komoditas masih menjadi komoditas utama ekspor Indonesia, sehingga pada periode tersebut kontribusi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) melemah menjadi 22 persen (per kuartal 3/2017) dibandingkan dengan posisi pada 2010 sebesar 31 persen.
Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), berbagai reformasi struktural berupa deregulasi dan pelonggaran Daftar Negatif Investasi (DNI), memicu pertumbuhan investasi. Hasilnya cukup manjur karena realisasi investasi kuartal 3/2017 mencapai Rp 176,6 triliun, atau naik 115,89 persen dibandingkan dengan kuartal 3/2012.
Hanya saja, investasi yang berkualitas masih perlu digenjot lebih lanjut karena komponen Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) di dalam PDB masih stagnan dalam 5 tahun terakhir (hanya berkisar 32 persen-32,7 persen dari PDB pada medio 2012-2017). PMTDB merupakan indikator belanja investasi untuk memproduksi barang produktif dengan umur pemakaian lebih dari setahun seperti mesin, alat pabrik, jalan, dan bandara.
Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah kesenjangan pertumbuhan sektor tradable (manufaktur, pertambangan, pertanian dan infrastruktur) vs sektor non-tradable (perdagangan hotel, restoran) dalam membentuk PDB. Pada kuartal 2/2017 pertumbuhan sektor tradable melambat ke 3,2 persen, sementara sektor non tradable tumbuh 6,3 persen (melewati pertumbuhan ekonomi kuartal 2/2017 sebesar 5,01 persen).
Sejak terpilih pada 2014 lalu, Presiden Jokowi telah menggenjot pembangunan infrastruktur yang idealnya membangkitkan sektor manufaktur. Namun, pembengkakan anggaran infrastruktur hingga 177 persen (dari 2014-2017) belum memicu pertumbuhan ekonomi karena pemerintah tidak bisa sendiri.
Minimnya partisipasi swasta terlihat dari perlambatan realisasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor infrastruktur dari 2015 ke 2016, sebesar 31 persen.
Selain itu, keringat BUMN karya diperas untuk menyediakan pembiayaan proyek-proyek infrastruktur. Seiring dengan menurunnya arus kas negara untuk membangun ratusan proyek besar itu, arus pembayaran pun dikhawatirkan tersendat, meski pemerintah secara resmi belum menunggak pembayaran.
Kekhawatiran itulah yang memicu penurunan harga saham BUMN karya sepanjang tahun berjalan (year to date/ YTD), seperti PT Waskita Karya Tbk (-13 persen), PT Wijaya Karya Tbk (-33 persen), dan PT Adhi Karya Tbk (-8 persen). Belum lagi menengok utang BUMN di sektor infrastruktur (misalnya PLN) yang terus membengkak.
Fitch Ratings memperkirakan nilai utang BUMN non-finansial per Juli 2017 yang setara dengan 4,5 persen PDB akan terus bertambah ke depannya. Di sinilah, lagi-lagi aspek prudensial perlu dijaga agar upaya nawacita tidak berakhir seperti cita-cita “tinggal landas” di tahun 1990-an akibat nafsu besar untuk menumbuhkan ekonomi, tapi lupa untuk berhati-hati.***
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
(ags/ags)
Tags
Related Opinion
Menanti Realisasi "Goodwill" di Bursa

Mengukur Jejak Inflasi dari Satu Dus Mie

Tantangan Abadi Menghapus Kesenjangan

Utang dan Dilema Pisau Bermata Dua

Recommendation
