Boediono Cerita Soal Krisis 1960-an, Ternyata Inflasi RI Pernah 600%
Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Presiden ke-11 RI Boediono mengenang masa-masa kelam yang membuat perekonomian Indonesia ambruk hingga ke titik nadir. Kondisi tekanan ekonomi era 1960-an itu menurutnya dapat menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah untuk menangani krisis.
"Di pertengahan tahun 1960-an kalau para hadirin ingat, ekonomi Indonesia berada di titik nadir, inflasi yang menahun berkembang menjadi hyper inflasi dan kemerosotan ekonomi melanda seluruh negeri," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, hyper inflasi yang terjadi pada periode menembus 600%. Saat itu, ekspor Indonesia juga tengah anjlok, utang menumpuk, dan cadangan devisa terkikis hingga titik rawan. Semua indikator menunjukkan Indonesia berada di tepi kebangkrutan.
Ironisnya, kondisi itu muncul hanya satu dekade setelah Indonesia ini tampil sebagai kekuatan baru dunia ketiga. Negara ini berhasil menghimpun puluhan negara untuk menantang dominasi Amerika Serikat dan Barat.
Tiga tahun sebelum krisis memuncak, tamah air bahkan memamerkan berbagai proyek mercusuar, seperti stadion megah, gedung internasional, dan infrastruktur baru, demi tampil hebat di mata dunia.
Kemerosotan ekonomi yang tepatnya lahir 1965 itu berasal dari akumulasi kebijakan yang tidak realistis. Sejak awal 1960-an, pemerintah mengalihkan porsi besar anggaran negara ke agenda-agenda politik dan proyek prestisius.
Semuanya menelan biaya besar, seperti Asian Games 1962 yang membutuhkan pembangunan fasilitas olahraga raksasa, berbagai operasi keamanan, hingga konfrontasi militer di Malaysia. Hal ini pun juga telah ditegaskan Boediono dengan mengungkapkan kebijakan pemerintah saat itu salah arah.
Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016) mencatat betapa drastis lonjakan belanja tersebut. Pada 1965, anggaran untuk sektor-sektor itu melonjak menjadi Rp985,5 miliar atau sekitar 40% dari total belanja negara. Padahal setahun sebelumnya jumlahnya hanya Rp116,4 miliar.
Defisit APBN pun tak terhindarkan. Tahun 1965, defisit melebar menjadi Rp1,32 triliun. Ini empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Penerimaan negara hanya Rp923,444 miliar, tetapi pengeluaran mencapai Rp2,244 triliun. Memasuki triwulan I-1966, defisit kembali melebar hingga Rp2,139 triliun.
Di tengah pendapatan negara yang jeblok, pemerintah memilih jalan pintas, yakni menutup defisit dengan mencetak uang baru. Langkah ini justru memicu bencana. Peredaran uang bertambah pesat. Inflasi tak lagi terkendali.
Ketika nilai rupiah merosot parah, pemerintah melakukan sanering atau pemotongan nilai uang. Namun kebijakan itu juga gagal. Menurut ekonom Radius Prawiro dalam Radius Prawiro, Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998), bukannya meredam inflasi, sanering malah memicu kepanikan. Banyak orang kehilangan separuh nilai uangnya ketika disimpan di bank. Kepercayaan terhadap perbankan jatuh. Masyarakat justru mempercepat perputaran uang, membuat inflasi makin liar.
Sementara itu, negara tidak punya sumber pemasukan baru. Infrastruktur dasar rusak dan tidak terawat. Dalam buku Ekonomi Indonesia 1800-2000 (2012), sejarawan Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks mencatat hanya 15% jalan raya yang berstatus baik. Akibatnya, pengiriman barang tersendat, logistik kacau, dan biaya distribusi melambung.
Bukan hanya itu. Banyak perusahaan negara dikelola tanpa profesionalisme. Akibatnya ekspor merosot tajam menjadi kisaran US$ 750-450 juta per tahun. Devisa yang masuk tidak cukup untuk menutup kebutuhan impor barang pokok.
Situasi itu membawa Indonesia ke titik krisis paling berat sejak kemerdekaan. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999) mencatat inflasi mencapai 600% dan masuk level hiperinflasi pada 1966. Dalam masyarakat, kondisi ini membuat tak lagi percaya terhadap uang. Akumulasi dari ini tentu membawa dampak kepada situasi politik yang makin runyam setelah kejadian Gerakan 30 September.
Pada awal 1966, kekuasaan Presiden Soekarno mulai goyah. Banyak rakyat melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut Tritura, yakni penurunan harga, pembubaran PKI dan perombakan kabinet. Sayang, Soekarno tak memenuhi tuntutan. Demonstrasi pun makin besar hingga berujung pada runtuhnya kekuasaan Soekarno sejak 11 Maret 1966.
Situasi kemudian mulai kembali normal setelah Jenderal Soeharto berkuasa. Dia membalikkan arah ekonomi Indonesia dari tertutup ke terbuka. Dampaknya, sejak 1967 inflasi mulai menurun ke angka 100% dan kembali normal pada 1970-an.
"Berkat konsensus nasional yang kuat dan kerja keras itu semua dapat dihentikan dan roda sejarah terus berputar setelah itu selama lebih dari 2 dasawarsa mulai awal 1970-an Indonesia mengalami era kemajuan sosial ekonomi yang mengesankan," papar Boediono.
"Ekonomi tumbuh rata-rata sekitar 7% per tahun, stabilitas terkendali, angka kemiskinan menurun indikator-indikator sosial ekonomi membaik sampai datangnya musibah krisis keuangan Asia di tahun 1997," tegasnya.
(arj/haa)[Gambas:Video CNBC]