
Badai PHK Jadi Pemicu Demo, Ekonom Beri Catatan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom menilai sejumlah permasalahan ekonomi menjadi latar belakang terjadinya aksi demonstrasi pada akhir pekan lalu. Salah satunya adalah tuntutan masyarakat terkait kesejahteraan dan penciptaan lapangan pekerjaan yang layak.
Bahkan Ekonom senior, Raden Pardede mengatakan ketenagakerjaan menjadi akar masalah dari gejolak sosial yang terjadi. D airinya menyoroti tingginya tingkat pengangguran di kalangan anak muda, kualitas pekerjaan yang belum memadai, hingga tekanan dari masuknya produk-produk impor yang membanjiri pasar domestik.
Menurutnya, hal-hal tersebut yang menjadi penyebab utama kekecewaan masyarakat yang akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi. Maka dari itu, Raden menilai pemerintah harus segera menyelesaikan masalah tersebut.
"Kita nggak bisa hanya menyatakan jangan demonstrasi, tapi kalau perut sudah lapar, kemudian merasa juga sulit dapat pekerjaan, saya pikir itu tidak akan menyelesaikan masalah kalau kita hanya menyatakan jangan berdemo, kemudian kita menjaga keamanan. Itu tidak cukup hanya itu," ujar Raden dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia TV.
Seperti diketahui, meurujuk Satudata Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 42.385 pekerja mengalami PHK sepanjang Januari hingga Juni 2025, naik 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, yakni 10.995 orang, disusul Jawa Barat (9.494 orang), Banten (4.267 orang), dan DKI.
Maka dari itu, Raden menyarankan pemerintah untuk merelokasi belanja pemerintah ke proyek-proyek padat karya yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat bawah. Seperti perbaikan rumah tidak layak huni, infrastruktur kampung, jalan lingkungan, dan proyek drainase.
"Nggak perlu membeli rumah. Jadi kita bisa langsung, oke beli semen, beli batu, beli kayu. Itu langsung bisa dikerjakan bersama-sama oleh teman-teman kita yang muda-muda di kampung itu. Mereka dapat pekerjaan dan mereka juga dapat income dari situ. Nah demikian juga jalan-jalan diperbaiki. Itu dulu yang menurut saya dari sisi saya yang bisa kita buat dalam tempo singkat ini," ujarnya.
Peneliti ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan pun menjelaskan bahwa tak hanya banyak nya PHK yang berlangsung di banyak tempat, para pekerja informal yang tidak memiliki pemasukan yang layak untuk bertahan hidup juga menjadi sorotan.
"Dan kita dengar PHK terjadi di mana-mana. Yang jadi permasalahan di Indonesia sebenarnya bukan sekedar bahwa orang itu bekerja atau tidak bekerja, tapi permasalahannya hari ini pekerjaan yang berkualitas atau menghasilkan penghasilan yang layak itu sangat terbatas," paparnya.
Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.
Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.
"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.
Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri pun menilai pemerintah perlu mencari strategi untuk menata kembali kebijakan-kebijakan ekonomi dan kesejahteraan serta memperbaiki sistem dan mekanisme politik baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
"Tanpa adanya tindakan solutif yang komprehensif untuk jangka pendek maupun jangka panjang, kita akan terjebak di dalam situasi yang lebih buruk lagi dan beresiko untuk mengulangi berbagai hal-hal yang terjadi belakangan ini di kemudian hari," ujar Yose dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9/2025).
Namun, hingga saat ini para pengambil kebijakan belum mengakui adanya permasalahan fundamental yang berasal dari kondisi sosial ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan juga kondisi politik yang ada.
"Ada kecenderungan bahwa situasi saat ini dilihat sebagai situasi political chaos belaka yang memerlukan penanganan cepat dan bahkan juga mungkin bertendensi untuk menggunakan kekuatan. Tetapi belum kelihatan adanya pengakuan untuk bahwa kondisi kesejahteraan dan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja," ujar Yose.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemnaker: 18.000 Pekerja Kena PHK selama Januari-Februari 2025
