
Ada Faktor Ekonomi di 'Demo Agustus', CSIS Colek Pemerintah Soal Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi demonstrasi yang berlangsung beberapa waktu terakhir dinilai Center for Strategic and International Studies (CSIS) sebagai bentuk kemarahan warga Indonesia atas kondisi perekonomian saat ini.
Peneliti ekonomi untuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan mengatakan bahwa pemerintah harus berhenti menyangkal bahwa demonstrasi yang terjadi merupakan dampak dari perekonomian nasional yang tidak baik-baik saja.
Pasalnya kepercayaan masyarakat akan pemerintah kian menurun akibat ketimpangan dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Menurutnya, masyarakat diminta membayar pajak, iuran, hingga menerima kebijakan efisiensi pemerintah. Namun di sisi lain, publik melihat tanda-tanda pemborosan, seperti penambahan jumlah kementerian dan lembaga, praktik rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan bagi pejabat dan anggota DPR.
"Kontradiksi ini menciptakan krisis legitimasi fiskal. Karena pada dasarnya fondasi kepercayaan yang menopangnya itu runtuh. Dalam teori ekonomi politik kita ketahui bahwa pajak adalah kontrak sosial antara rakyat dengan negara," ujar Deni dalam diskusi publik CSIS, Selasa (2/9/2025).
Selain itu, kondisi ini juga mencerminkan ketimpangan dan beban ekonomi yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun Deni menilai distribusinya semakin timpang karena bias pada sektor padat modal.
Gini ratio masih di angka 0,39, kelas menengah yang terus menurun, dan banyaknya masyarakat yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan.
"Kalau pakai standar Bank Dunia yang sekarang mungkin tingkat kemiskinannya lebih tinggi lagi. Belakangan ini tingkat inflasi umum itu rendah, tapi pada waktu tertentu tingkat volatile food sangat tinggi. Misalnya hari ini harga beras itu kisaran Rp14.000 sampai Rp18.000, tengahnya misalnya Rp16.000 itu sangat-sangat membebani masyarakat," ujarnya.
Dia menilai bahwa jalan keluar dari sejumlah krisis sosial-ekonomi yang terjadi adalah perbaikan tata kelola anggaran negara.
Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede pun mengatakan demonstrasi yang pecah di Jakarta dan kota besar lain secara langsung meningkatkan ketidakpastian politik dan sosial.
Sebelumnya kurs rupiah sempat tertekan ke level 16.560/US$ selama periode unjuk rasa, namun mampu kembali bergerak ke level Rp 16.400/US$ dalam waktu singkat.
Menurutnya, pelemahan rupiah cenderung bersifat sementara selama demonstrasi tidak berkembang menjadi krisis politik berkepanjangan. Namun, sejarah menunjukkan rupiah sensitif terhadap sentimen politik domestik dan kembali stabil ketika ketidakpastian mereda dan fundamental ekonomi relatif terjaga.
"Dalam kasus saat ini, BI telah menegaskan komitmennya menjaga pergerakan rupiah sesuai fundamental. Namun, jika demonstrasi terus berlanjut atau melebar hingga menimbulkan gangguan terhadap fiskal dan investasi, pelemahan bisa lebih lama bertahan," ujar Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/9/2025).
Jika ketegangan sosial segera mereda, ruang apresiasi terbuka kembali ke area Rp16.200-Rp16.300, didukung oleh intervensi BI dan cadangan devisa yang memadai. Dengan kata lain, outlook rupiah ke depan sangat bergantung pada stabilitas domestik.
"Semakin cepat demonstrasi mereda, semakin cepat pula rupiah kembali ke jalur stabil sesuai fundamental ekonomi," ujarnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Di Tengah Aksi Protes, Airlangga Minta Pengusaha Tenang & Optimis
