Ramai-Ramai Profesional Tekstil RI Pindah ke Vietnam-Malaysia, Kenapa?

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
05 August 2025 15:35
ilustrasi mata kuliah tekstil. (Freepik)
Foto: ilustrasi mata kuliah tekstil. (Freepik)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak tekanan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak hanya menyasar buruh pabrik, tetapi mulai merembet ke jajaran manajemen. Tak sedikit profesional di bidang ini memilih hijrah ke luar negeri demi menyelamatkan karir.

Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Cecep Daryus mengungkapkan, para profesional level manajemen ikut terdampak dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama penurunan kinerja industri TPT.

"Anggota kami yang merupakan profesional tekstil di level manajemen turut terdampak dari PHK dan penurunan kinerja industri, meskipun tidak terlalu signifikan," kata Cecep dalam keterangannya, dikutip Selasa (5/8/2025).

Menariknya, kondisi ini mendorong tren baru, semakin banyak profesional tekstil Indonesia yang kini melanjutkan karir di negara tetangga seperti Vietnam, Kamboja, dan Malaysia. Permintaan terhadap tenaga kerja level manajerial dari Indonesia kian meningkat seiring pertumbuhan investasi di kawasan tersebut.

"Bahkan mulai terjadi fenomena peningkatan profesional tekstil kita yang berkarir di luar negeri karena kebutuhan tenaga kerja level manajemen di Vietnam, Kamboja hingga Malaysia. Artinya investasi baru di negara ASEAN lainnya sedang berkembang pesat hingga mencari tenaga profesional sampai ke Indonesia," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto turut memberikan komentarnya terkait kondisi industri tekstil nasional saat ini. Ia menilai, narasi optimisme yang dibawa pemerintah melalui data surplus perdagangan tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

"Kami memperkirakan investasi yang setop akibat tutupnya 60 perusahaan TPT (tekstil dan produk tekstil) ini mencapai lebih dari Rp80 triliun, memang tidak hilang tapi mati suri. Belum lagi dampak ketenagakerjaan dan potensi perekonomiannya. Ini kan disembunyikan," tegas Agus.

Ia juga mempertanyakan validitas data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) yang digunakan sebagai acuan menilai performa industri. Menurut Agus, banyak perusahaan yang sudah tutup tidak lagi mengisi SIINAS, namun tetap tercatat seolah-olah aktif.

"Perusahaan yang tutup kan tidak isi SIINAS, tapi kan mesin-mesinnya masih ada di Indonesia, dan tidak menjadi pengurang nilai investasi," ungkapnya.

Dari sisi perdagangan, Agus menambahkan bahwa kondisi ekspor tekstil Indonesia juga semakin mengkhawatirkan. Ia mencatat bahwa nilai surplus perdagangan tekstil menyusut drastis dari US$ 4,2 miliar pada 2015 menjadi hanya US$ 2,4 miliar di tahun 2024. Bahkan secara volume, neraca perdagangan sektor ini telah defisit hingga 57 ribu ton sejak 2016.

"Padahal sektor TPT adalah sektor strategis yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan, khususnya dalam menyerap tenaga kerja hingga bisa berkontribusi menaikan daya beli masyarakat, dan menjaga investasi yang ada tetap bisa berjalan adalah tanggung jawab Kemenperin," pungkasnya.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 3 Juta Pekerja Tekstil Terancam PHK, Bos Buruh Ungkap Penyebabnya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular