
Pahit Nasib Pengusaha Konveksi, Uang Pesangon PHK Ludes-Orderan Sepi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengungkapkan kenyataan pahit yang tengah dihadapi para pelaku usaha konveksi. Sejak 2022, banyak anggota IPKB terpaksa menghentikan usaha karena kalah bersaing dengan produk impor murah, baik di pasar online maupun offline.
Akibatnya, tak sedikit yang terpaksa beralih profesi, mulai dari bekerja ke luar negeri, bertani, hingga menjadi pengemudi ojek online.
"Kebanyakan anggota kami yang selama ini ya, mungkin dari 2022 ya, itu banyak memang teman-teman yang berhenti, karena kan tadi banyaknya kita bersaing ya, dengan produk-produk impor yang begitu murah, mau di online atau di offline. Akhirnya pada banting setir itu, ada yang ke luar negeri kerja, juga ada yang kerja untuk ya bertani, macam-macam, ada juga yang jadi supir ojek online kan gitu," ungkap Nandi kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (6/8/2025).
Ironisnya lagi, Nandi menyebut ada juga mantan pemasar konveksi yang kini justru menjadi pemasar produk impor murah, berbalik arah dari posisi semula.
"Tadinya marketing kami, UMKM, sekarang untuk jadi marketing penjual produk impor murah gitu," ujarnya.
Korban PHK Bisnis Konveksi Tapi Terancam
Di sisi lain, muncul gelombang pelaku usaha baru yang justru berasal dari korban pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor tekstil. Katanya, mereka menggunakan uang pesangon untuk membeli mesin dan membuka usaha konveksi kecil, lalu bergabung dengan IPKB untuk mencari peluang kerja.
"Banyak juga yang korban-korban PHK dari pabrik ya, nah itu akhirnya dia banting setir coba buka konveksi, yang akhirnya bergabung ke kami untuk meminta kerjaan, orderan kan gitu," jelas Nandi.
Namun, fenomena ini juga memunculkan tantangan baru. Meski jumlah pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) bertambah, daya serap pasar terhadap produk dalam negeri justru rendah. Alhasil, banyak pelaku baru kebingungan menentukan produk yang akan dipasarkan.
"Sekitar 30% dia udah banting setir ya, maksudnya tidak produksi lagi dari tahun 2022. Nah sekarang dari korban PHK banyak juga dia menjadi pelaku IKM baru gitu. Tapi kami juga bingung gitu, pemesanan ke asosiasi pun juga kurang," ujarnya.
Menurut Nandi, pasar dalam negeri masih dibanjiri barang impor murah yang harganya jauh lebih murah. Ketimpangan ini membuat pelaku usaha lokal kesulitan bertahan, apalagi jika tanpa dukungan regulasi yang kuat.
"Jadi tetap sih kembali kepada pasar ya bahwa barang impor ilegalnya masih membanjiri... nah ini yang berat bagi kami para pelaku gitu," kata dia.
Minta Tolong Pemerintah
Ia juga menyoroti efek domino dari lesunya sektor tekstil terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ketika konveksi gulung tikar, lanjut dia, lapangan kerja menghilang, daya beli menurun, dan akhirnya mempengaruhi sektor-sektor lainnya seperti usaha sewa kontrakan, angkutan umum, kuliner, hingga perbankan.
"Saya sendiri nih sebagai pelaku usaha ya... saya bisa menghidupi berarti kalau 25 sekitar 500 pekerja. Nah, sekarang ketika si konveksi IKM atau garmen ini tutup, yang tadi itu berarti pengangguran banyak, nah ketika pengangguran banyak berarti daya beli turun," tegasnya.
Ia menambahkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sejatinya merupakan sektor padat karya yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja. Namun, saat TPT kolaps, otomatis peluang kerja pun menyusut drastis.
"Ketika tekstil dan produk tekstilnya pada gulung tikar, ya gimana mau menciptakan lapangan kerja," ujar Nandi.
Lebih lanjut, Nandi menekankan satu harapan sederhana kepada pemerintah. Ia mengharapkan perlindungan pasar dalam negeri. Dengan populasi Indonesia mencapai 280 juta jiwa, menurutnya cukup hanya 60-70% masyarakat membeli produk lokal, maka industri tekstil bisa hidup kembali.
"Pemerintah hanya simple aja sih, awasi pengawasannya benar, lindungi marketnya. Itu dengan sendirinya kami, TPT ini akan menyerap lagi jutaan tenaga kerja," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Industri Primadona RI di Ujung Tanduk, Pengusaha Waswas Tanda Bahaya
