
Ucapan Mengejutkan Jubir Kemenperin Bantah Bos Apindo Soal Badai PHK

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyampaikan bantahannya atas pernyataan yang menyebutkan badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terjadi di sektor industri manufaktur. Juru Bicara (Jubir) Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, narasi mengenai dominasi PHK di
sektor industri manufaktur perlu dilihat secara lebih proporsional, didukung data yang akurat dan analisis serta penjelasan lebih komprehensif.
Kata dia, beberapa subsektor industri memang mengalami pengurangan tenaga kerja yang disebabkan residu kebijakan relaksasi impor sebelumnya. Yang kemudian memicu membanjirnya produk impor murah di pasar domestik.
"Penting untuk digarisbawahi bahwa PHK tersebut tidak mencerminkan kondisi umum sektor industri. Banyak sektor lain seperti jasa dan perhotelan yang juga mengalami PHK dalam skala besar, namun tidak
mendapat sorotan yang seimbang," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (31/7/2025).
"Hemat kami, bu Shinta (Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani) termasuk pendukung terbitnya kebijakan relaksasi impor yang terbit pada bulan Mei 2024. sehingga mengakibatkan pasar domestik banjir produk impor murah, menekan utilisasi industri dalam negeri dan pengurangan tenaga kerja. Residu kebijakan tersebut telah dirasakan hingga saat ini seperti "badai PHK" yang dia ungkapkan pada publik," tambah Febri.
Dia pun mengutip data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS. Data itu, sebutnya, menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan mengalami penurunan karena aktivitas industri melemah karena banjirnya produk impor murah di pasar domestik.
"Per Februari 2025, jumlah tenaga kerja sektor industri tercatat 19,60 juta orang, turun dibandingkan pada Agustus 2024
sebanyak 23,98 juta orang. Ini terjadi sejak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor sampai sekarang," ujarnya.
"Artinya, sektor industri mengalami tekanan yang berat akibat dampak regulasi terkait relaksasi impor, sehingga terpaksa untuk melakukan PHK, terutama pada sektor padat karya seperti industri tekstil dan
alas kaki. Inilah bukti dampak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor produk murah tersebut," kata Febri.
Di sisi lain, lanjutnya, indikator kinerja industri justru menunjukkan tren yang positif, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja.
"Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada Semester I tahun 2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan melaporkan sedang membangun fasilitas produksi baru dengan nilai investasi mencapai Rp803,2 triliun. Tenaga kerja yang terserap pada industri baru dibangun tersebut diperkirakan mencapai 3,05 juta orang," beber Febri
"Angka ini jelas jauh lebih besar dari jumlah PHK yang disampaikan oleh Kementerian lain ataupun asosiasi pengusaha. Begitu juga dengan produksi manufaktur pada bulan Juni 2025, menunjukkan kinerja ekspansif. Berdasarkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kemenperin, pada bulan Juni 2025 IKI mencapai 52,50. Yang berarti lebih dari 50% industri menyatakan bahwa kinerja mereka lebih baik dari bulan sebelumnya serta penyerapan tenaga kerjanya," tukasnya.
Belum lagi, imbuh dia, kinerja industri berorientasi ekspor dan pasar domestik juga ekspansif. Hal ini, katanya, ditunjukkan masing-masing oleh IKI Ekspor sebesar 52,19, dan sektor domestik 51,32.
"Ekspansifnya tiga indikator kinerja manufaktur berarti permintaan, produksi dan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur pada tingkat lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya," ujarnya.
"Data ini membuktikan bahwa sektor manufaktur nasional tidak sedang mengalami kontraksi seperti yang diungkap pada publik melainkan terus bertumbuh dengan kehadiran fasilitas produksi baru dengan menyerap tenaga kerja lebih besar lagi," cetus Febri.
Febri pun optimistis, serapan tenaga kerja di sektor industri, terutama padat karya akan teurs meningkat.
Hal itu, jelasnsya, menyusul revisi kebijakan relaksasi impor atau Permendag No 8/2024, kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serita juga Indonesia-Uni Eropa. Ditambah, reformasi tata kelola TKDN yang disebutnya akan meningkatkan permintaan atas produk manufaktur untuk kebutuhan pemerintah.
Seperti diketahui, Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani sebelumnya mengatakan, badai PHK belum berakhir. Bahkan, menurut survei internal Apindo, lebih dari setengah perusahaan yang ada di Indonesia sudah memangkas tenaga kerja dan masih berencana melanjutkannya.
"Dalam survei Apindo yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini," kata Shinta dalam acara Dewas Menyapa Indonesia di Jakarta, Senin (28/7/2025).
"Jadi kita sama-sama sepakat bahwa ini bukan hanya sekadar PHK biasa, tapi ini memang PHK sedang benar-benar berjalan dan masih terus bergulir," tambahnya.
Shinta merujuk data BPJS Ketenagakerjaan yang mencatat sebanyak 150 ribu pekerja telah terkena PHK selama Januari hingga Juni 2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari 100 ribu orang sudah mengajukan klaim manfaat jaminan.
Sementara, Satudata Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, sepanjang Januari hingga Juni 2025, ada 42.385 pekerja yang mengalami PHK. Angka ini melonjak 32,19% dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebanyak 32.064 orang.
"Tapi memang kalau lihat kondisinya, PHK ini terus meningkat, dan terutama di dalam sektor-sektor padat karya seperti TPT, tekstil, sektor-sektor yang sangat tertekan pada hari ini," kata Shinta.
![]() Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief. (Dok. Kemenperin) |
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menperin Buka Data PHK 2024 di Sektor Industri, Terungkap Fakta Ini
