Tarif 32% Trump Pukul Industri Tekstil RI, Bos Pengusaha Minta Tolong

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha blak-blakan sektor padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat menjadi sektor yang paling terdampak dari tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kepada Indonesia yang masih sebesar 32%. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdhani menyoroti sektor TPT menjadi yang paling terdampak dari kebijakan tarif resiprokal Trump.
Selain TPT, adapula industri alas kaki, furniture, dan mainan anak yang bakal terdampak besar.
"Sektor padat karya akan menghadapi tekanan yang cukup besar akibat kebijakan tarif, karena sektor ini memiliki pangsa ekspor yang besar seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, furniture, dan mainan anak," ujar Shinta kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/7/2025).
Apalagi, kondisi manufaktur RI juga masih lesu, di mana Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia per Juni 2025 masih berada di bawah angka 50, yang menandakan bahwa sektor manufaktur RI masih merana.
"Ada risiko penurunan permintaan, masuknya barang murah atau ilegal, serta tingginya biaya berusaha yang menjadi tantangan nyata dan perlu diantisipasi bersama," ungkap Shinta.
Shinta menjabarkan sektor TPT menyumbang paling besar ekspor ke AS yakni mencapai 61%. Berikutnya ada furniture yang mencapai 59%, dan olahan daging ikan 56%.
![]() Donald Trump |
"Jadi, hal ini dampaknya bisa signifikan, terutama di sektor TPT yang saat ini juga tengah menghadapi rintangan berupa banyaknya PHK dan lain-lain. Jika tarif resiprokal tetap dikenakan sebesar 32%, maka tentunya biaya akan semakin tinggi dan produk kita bisa kurang kompetitif jika diekspor ke AS," ujarnya lagi.
Untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi, Shinta menyarankan pemerintah dapat melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan sektor tersebut. Pertama yakni pemberian insentif dari segi biaya usaha dan fiskal seperti suku bunga yang perlu disesuaikan bagi industri padat karya disamakan suku bunganya dengan kredit usaha rakyat (KUR).
"Seperti contoh suku bunga, industri padat karya bisa disamakan dengan kredit usaha rakyat (KUR) dari kebijakan suku bunganya," terang Shinta.
Kedua, menghapus biaya terkait perizinan perusahaan, kemudian diubah menjadi penambahan daripada biaya menjalankan bisnis.
"Hapuskan biaya semua perizinan perusahaan, yang kemudian menjadi penambahan daripada cost of doing business," ucap Shinta.
Ketiga, meminimalisir biaya energi yang dinilai masih terlalu tinggi.
"Cost of energy kita masih sangat tinggi, jadi kita tidak bisa berkompetisi dengan sesama negara Asia Tenggara," ujarnya lagi.
Keempat yakni menurunkan biaya logistik, karena Indonesia masih menjadi negara yang biaya logistiknya paling tinggi dengan negara Asia Tenggara lainnya.
Kelima yakni penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi industri padat karya seperti penghapusan PPN bahan baku pembantu, PPN untuk Kawasan berikat, dan lain
"Jadi, memang sudah ada specific things yang kita sudah siapkan dan kita sampaikan kepada pemerintah untuk hal ini," pungkasnya.
(chd/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Luhut Turun Gunung Selamatkan Industri Tekstil-Alas Kaki RI
