
Robeli Siap-Siap Serbu Mal RI "Usir" Rojali-Rohana, Ini Sosoknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah ramai diperbincangkan soal Rojali dan Rohana, singkatan dari Rombongan Jarang Beli dan Rombongan Hanya Nanya-Nanya, kini pelaku usaha ritel mulai melirik harapan baru. Mereka memprediksi akan segera muncul kelompok konsumen baru yang lebih menjanjikan, yakni Robeli alias Rombongan Benar Beli.
Fenomena Rojali-Rohana muncul di tengah situasi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya. Namun, kalangan dunia usaha meyakini tren ini tak akan bertahan lama.
"Kalau kita kaitkan dengan permintaan (demand), Rojali dan Rohana itu konsepnya lebih ke daya beli. Di ritel sendiri, mereka merasakan, pelaku-pelaku ritel kami, bahwa adanya penurunan demand itu terasa sekali, makannya ada orang yang lebih banyak jalan-jalan," ungkap Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani, dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Jumat (1/8/2025).
Kendati hanya menjadi pengunjung pasif, keberadaan Rojali-Rohana menurut Shinta tetap lebih baik daripada mal yang sepi total.
"Kami pikir konsep itu (adanya Rojali-Rohana yang memenuhi pusat perbelanjaan) lebih baik, dibandingkan (pusat perbelanjaan) kosong sama sekali," katanya.
Untuk mendorong transformasi dari Rojali-Rohana menjadi Robeli, Shinta menekankan pentingnya dukungan kebijakan dari pemerintah, misalnya dengan memberikan insentif agar konsumsi kembali menggeliat.
"Nah sekarang bagaimana pemerintah bisa membantu boost untuk insentif daya beli dan demand ini. Ini yang mungkin dibantu dengan diskon-diskon dan lain-lain... Kita tidak akan putus asa dengan mencoba berbagai upaya agar bisa ada peningkatan daripada demand yang ada," tegas Shinta.
Produk Lokal Harus Kompetitif
Ketua Bidang Perdagangan Apindo Anne Patricia Sutanto menyoroti kunci penting agar Robeli bisa benar-benar terbentuk adalah daya saing produk dalam negeri.
"Daya saing kita secara mandiri itu perlu ada. Karena begitu kita ini bisa berdaya saing di domestik, untuk produk-produk Indonesia sendiri, kita gak perlu takut lagi soal ilegal dan penyelundupan," ujar Anne dalam kesempatan yang sama.
Ia menambahkan, daya saing yang kuat tidak hanya akan mengurangi dominasi produk ilegal, tetapi juga mampu menarik lebih banyak investasi. Dan jika investasi bertumbuh, kemampuan masyarakat untuk membeli barang pun meningkat.
"Plus, kalau kita ini berdaya saing, otomatis investasi yang ada bertumbuh, tidak berkurang dan juga investasi yang ada bisa memberikan buying power. Jadi istilah Rohana-Rojali itu bisa tidak menjadi Rohana-Rojali, tapi jadi Robeli atau Rombongan Benar Beli," tambahnya.
Tiket Konser Ludes, Tapi Belanja Masih Sepi?
Dalam kesempatan yang sama juga, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani turut menyoroti fenomena konsumsi ini dari sisi psikologis pasar. Ia menyebut Indonesia tengah mengalami apa yang disebut Lipstick Index, di mana konsumen tetap belanja, tetapi untuk barang-barang ekstra atau hiburan.
"Pasar Indonesia ini unik, tapi jangan lupa bahwa kita ini ada namanya Lipstick Index," ujarnya.
"Lipstick Index itu artinya begini, memang konsumsi mereka sedang menurun, tapi kalau ada kebutuhan-kebutuhan ekstra. Misalnya gini, teman-teman bisa lihat kalau kita menonton bola atau kalau ada konser-konser, tiket baru keluar saja biasanya kehabisan," jelas Ajib.
Menurut dia, saat ekonomi membaik dan daya beli pulih, masyarakat akan kembali berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari, bukan hanya untuk kesenangan sesaat.
"Jadi saya pikir Rojali-Rohana ini nanti akan dengan sendirinya mulai hilang, dan mulai berbelanja, saat kemampuan daya beli mereka naik, dan pertumbuhan ekonomi kita bisa bertumbuh sesuai harapan," katanya.
Robeli Butuh Dompet Tebal
Di lain sisi, Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah, mengungkapkan, Robeli sejatinya adalah mereka yang memiliki daya beli tinggi, seperti misalnya kelompok masyarakat menengah atas hingga turis asing.
"Yang pasti beli ya yang punya duit. Ditanya yang rombongan pasti beli, ya yang orang kaya, orang menengah atas, yang turis, yang ada dana," kata Budiharjo, melansir detikFinance.
Namun, ia menyoroti tantangan besar orang kaya Indonesia justru banyak yang lebih memilih belanja di luar negeri ketimbang di mal dalam negeri. Ini tak lepas dari masalah ketersediaan barang dan harga jual di dalam negeri yang relatif mahal karena faktor perizinan dan biaya operasional.
Selain itu, maraknya belanja daring juga ikut mengubah kebiasaan. Banyak masyarakat yang memilih membeli kebutuhan seperti elektronik dan fesyen secara online ketimbang datang langsung ke mal.
"Kalau bisa diperbaiki online itu bersaing sama offline, fair budget, fair masuk impor barang. Kami impor resmi jual di toko, tapi yang sebelah juga harus resmi, nggak boleh," ujarnya.
"Jadi rombongan pasti beli itu, satu menengah atas yang nggak keluar negeri karena di Indonesia barangnya ada. Mereka punya uang, mereka makan di mal, belanja di mal. Makanya dikerahkan oleh kita belanja di Indonesia saja. Nah kalau turis datang ke Indonesia, datang makan, belanja di pasar malam, belanja di mal, itu juga punya duit," tutup Budihardjo.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mal RI Diserbu 'Rojali & Rohana', Pengusaha Ungkap Hal Tak Terduga
