Mendadak Heboh Fenomena Rojali, Mendag Beri Solusi: Hybrid Omnichannel

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
07 August 2025 11:45
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso dalam acara Kick-Off ASEAN Online Sale Day di Auditorium Kemendag, Jakarta, Kamis (7/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)
Foto: Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso dalam acara Kick-Off ASEAN Online Sale Day di Auditorium Kemendag, Jakarta, Kamis (7/8/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menilai fenomena 'Rojali' alias rombongan jarang beli yang hanya datang ke mal tanpa belanja, bukan semata soal daya beli. Ia menegaskan, kebiasaan ini berkaitan erat dengan transformasi pola belanja dari offline ke online.

"Jadi sekarang ini karena antara offline dan online ini kan...ini lagi transformasi ya, antara online dan offline. Sebagian besar sudah belanja ke online, kemudian orang berdagang juga ke online," kata Budi dalam acara Kick-Off ASEAN Online Sale Day di Auditorium Kemendag, Jakarta, Kamis (7/8/2025).

Menurutnya, pergeseran ke belanja daring membuat toko-toko fisik merasa terdesak. Meski begitu, Budi menegaskan bahwa pemerintah tidak tinggal diam. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah konsep hybrid omnichannel, yakni penggabungan antara penjualan offline dan online.

"Akhirnya yang berdagang offline merasa terdesak. Tetapi kita ada solusinya yaitu dengan hybrid omnichannel. Orang sekarang juga banyak yang katanya fenomena hanya melihat-lihat ya, atau Rojali," ujarnya.

Ia menekankan, fenomena melihat-lihat saja tanpa membeli adalah bagian dari kebebasan konsumen. Masyarakat bebas menentukan apakah ingin belanja langsung di toko atau lewat daring.

"Kadang-kadang kan dia melihat barang kan boleh saja. Kemudian apakah dia membeli lewat online atau offline ya monggo, itu perilaku konsumen dan itu kebebasan konsumen untuk memilih barang. Masalah belanjanya di mana ya silakan," terang dia.

Budi mencontohkan bagaimana inovasi seperti live shopping di platform marketplace menjadi jembatan bagi konsumen untuk lebih yakin terhadap produk yang ingin dibeli.

"Di marketplace juga ada live shopping ya. Ya itu kan sebenarnya live shopping, sebenarnya juga untuk mendekatkan konsumen dengan barangnya. Kalau hanya melihat gambar mungkin kurang yakin ya, tapi kalau ada live seperti itu akhirnya konsumen lebih tahu 'oh gambaran produknya itu seperti itu'," jelasnya.

Lebih jauh, Budi mengingatkan pentingnya menciptakan keseimbangan antara ekosistem online dan offline, seperti halnya saat dulu pemerintah hadir untuk menyelamatkan toko kelontong dari serbuan ritel modern.

"Kita harus setara, harus sama seperti dulu ketika ritel modern datang, toko kelontong merasa terpinggirkan, karena menganggap kehadiran ritel modern itu membunuh toko kelontong. Waktu itu kan gitu," tuturnya.

Ia menyebutkan pola kemitraan antara toko modern dan toko kelontong berhasil menyelamatkan ekosistem tradisional. Tak hanya menyuplai barang, ritel modern juga mengajarkan manajemen kepada toko kecil. Pola serupa menurutnya kini terjadi juga di e-commerce.

"E-commerce kan tidak hanya sekedar berjualan, atau tidak hanya sekedar mengambil barang dari UMKM untuk dijual, tapi juga mengajari bagaimana packaging yang bagus, produk yang bagus," ucapnya.

Dalam konteks pemberdayaan ekonomi nasional, Budi menilai produk lokal, khususnya dari pelaku UMKM, sangat potensial dan mendominasi platform digital.

"Kita fokus UMKM di desa-desa, di kelurahan itu sudah banyak sekali dan produk mereka tidak terstandar. Nah itu aja kita kerjakan, kita garap yang itu, itu sudah luar biasa," ujarnya.

"Saya yakin produk-produk dari e-commerce, dari Shopee ini pasti kebanyakan dari UMKM juga. Nah itu UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia kita berdayakan, kita standardisasikan, dan kita bisa pasarkan di beberapa negara melalui platform antara lain Shopee," pungkas Budi.


Sebelumnya Budi mengatakan, kebiasaan masyarakat datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat tanpa melakukan transaksi pembelian sudah berlangsung sejak lama.

"Kan kita bebas. Mau beli di online, mau beli di offline kan bebas. Kan dari dulu fenomena itu juga ada," ujar Budi saat ditemui di Pusat Grosir Cililitan (PGC) Jakarta, Rabu (23/7/2025).

Dalam kesempatan itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja juga menyebut istilah rojali bukanlah fenomena baru di pusat perbelanjaan. Yang membedakan saat ini adalah intensitas dan pola belanjanya.

"Sebetulnya kan bukan hal yang baru rojali itu. Bukan kali ini saja terjadi, kan. Sebelum-sebelumnya sudah terjadi. Cuman saja memang intensitas jumlahnya yang berbeda dari waktu ke waktu," jelas Alphonzus dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan, ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku konsumen saat ini. Untuk kelas menengah atas, lebih karena faktor kehati-hatian dalam belanja, terutama karena pengaruh kondisi makro dan mikro ekonomi global yang tengah bergejolak.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Hal Baru, 'Rojali' Diam-Diam Sudah Lama Invasi ke Mal RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular