
Pengusaha Dukung Pajak Ecommerce: Barang Online Murah Picu Efek Rojali

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pedagang di pusat perbelanjaan (tenant mal) mendukung pengenaan pajak 0,5% terhadap pedagang online dengan omzet di atas Rp 500 juta per tahun. Kebijakan ini dinilai bakal membuat 'playing field' atau area "bertarung" setara bagi pedagang online dan offline.
Sebab, menurut Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, pedagang offline atau tenant di mal-mal juga harus menanggung sejumlah beban dari pajak-pajak yang dikenakan pemerintah.
Di sisi lain, menurut Budihardjo, selama ini banyak pedagang online yang menjual barang dengan harga murah jauh di bawah standar, sehingga disinyalir tidak membayar pajak. Akibatnya, pedagang online yang berjualan di mal menjadi kalah saing dan membuat munculnya fenomena Rojali atau rombongan jarang beli di mal. Ia pun menyebut beberapa pajak yang harus dibayarkan pedagang offline.
"Baru dikenakan pajak 0,5% saja sudah teriak kan pedagang online ini, padahal kami sudah banyak membayar pajak dan ikuti terus kebijakan pemerintah," kata Budihardjo kepada CNBC Indonesia, Senin (28/7/2025).
"Untuk restoran ada PB 1, kemudian PPN, lalu perusahaan kalau akhir tahun ada laba kami bayar PPh 25. Jadi kalau kami selalu ikuti aturan pemerintah," sambungnya.
Pemerintah telah membuat kriteria khusus untuk pedagang online yang pajak penghasilannya (PPh) akan bisa dipungut oleh marketplace atau e-commerce mulai tahun ini. Kriteria itu sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 Tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut, Penyetor, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Dalam PMK itu disebutkan, PPh Pasal 22 yang akan dipungut marketplace terhadap para pedagang onlinenya, terdiri dari pedagang online perorangan atau merupakan wajib pajak orang pribadi maupun perusahaan atau wajib pajak badan.
Penyebab Munculnya Rojali
Sementara itu, Budihardjo membeberkan biang kerok di balik munculnya fenomena Rojali di mal-mal di Indonesia.
"Pertama karena beres Covid ada kebiasaan baru masyarakat belanja online. Ditambah harga di online lebih murah dibandingkan offline," ucapnya.
Kata Budihardjo, harga di online bisa lebih murah karena pengawasan terhadap barang tersebut sehingga bisa terjual di lapak online dinilai kurang ketat, termasuk mengumpulkan pajak dari barang di online tersebut.
"Sebaliknya kita banyak bayar pajak misalnya PPN 11% dan beberapa pajak lain, sehingga harganya lebih mahal, ditambah persyaratan untuk impor barang resmi juga lebih sulit, makanya stok ngga sebanyak online. Akhirnya orang cek ke mal buat dibandingin ke online, ya bakal lebih murah online," ujar Budihardjo.
Padahal, sebagian kalangan menengah ke atas tetap memiliki daya beli untuk berbelanja. Namun banyak dari kalangan ini pergi ke luar negeri untuk berbelanja karena harganya lebih murah, misalnya barang branded di Genting Highland di Malaysia atau Gotemba di Jepang.
"Akhirnya orang di kalangan ini ke luar negeri juga Rojali tapi Rombongan Belanja dan Beli karena disana harganya lebih murah," tukas Budihardjo.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mal Ini Sempat Terbakar, Begini Kondisi Terbarunya
