Bos Kalla Group Blak-blakan Susahnya Bangun Pembangkit Listrik Air

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
29 July 2025 15:40
Chief Executive Officer Kalla Group, Solihin Kalla dalam program CNBC Indonesia Energy Corner di Jakarta, Selasa (29/7/2025). (CNBC Indonesia TV)
Foto: Chief Executive Officer Kalla Group, Solihin Kalla dalam program CNBC Indonesia Energy Corner di Jakarta, Selasa (29/7/2025). (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalla Group sebagai salah satu perusahaan yang juga berkecimpung dalam bisnis energi baru terbarukan (EBT) membeberkan sulitnya menggarap energi hijau di dalam negeri, khususnya yang berbasis air (Pembangkit Listrik Tenaga Air/PLTA).

CEO Kalla Group Solihin Kalla mengatakan sulitnya pembangunan PLTA bisa dilihat dari perhitungan awal diberikannya perizinan hingga mencapai produksi listrik. Di mana, ia mencatat hal itu membutuhkan waktu hingga 12 tahun lamanya.

"Kalau saya bercerita tentang EBT, sebenarnya, khususnya hydropower. Hydropower ini yang paling susah dibangun. Selain susah dibangun, sebelum membangunnya pun sangat susah," kata Solihin Kalla kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (29/7/2025).

Ia mengisahkan, sulitnya pengembangan PLTA juga didorong oleh sulitnya mencari sumber air yang bisa dimanfaatkan. Biasanya, jarak pembangunan terlampau jauh, seperti di pegunungan.

"Trennya yang sangat susah karena PLTA itu harus di tengah gunung yang ada air. Elevasinya juga 1.000 meter kira-kira. Aksesnya nggak ada," tambah Solihin.

Belum lagi, kata Solihin Kalla, harus ada jaringan listrik yang dibangun agar hasil listrik dari PLTA bisa disalurkan ke pusat kebutuhan listrik. Hal itu juga dinilai menjadi tantangan paling besar dalam memanfaatkan PLTA sebagai sumber listrik.

"Kendala yang paling besar adalah grid, atau transmission line dari PLN yang tidak tersedia. Jadi harus membangun lagi," tandasnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah sendiri menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik baru sebesar 100 Giga Watt (GW) hingga 2040. Hal ini sebagai bagian dari strategi untuk pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mendukung transisi energi.

Hal ini seiring dengan sudah diluncurkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034. Adapun dari tambahan kapasitas pembangkit listrik tersebut, energi berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mendominasi hingga 76%.

Dari rencana tambahan pembangkit listrik baru yang akan dibangun sebesar 69,5 Giga Watt (GW) selama 2025-2034, 76% berasal dari EBT, terdiri dari 42,6 GW berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT atau setara 61%, dan 10,3 GW atau setara 15% dari sistem penyimpanan (storage) baterai dari sumber energi terbarukan, seperti PLTA Pumped Storage dan baterai.

Berdasarkan bahan paparan Kementerian ESDM, dari total rencana penambahan sebesar 69,5 GW, sekitar 42,6 GW akan berasal dari pembangkit EBT, 10,3 GW dari sistem penyimpanan energi (storage), sedangkan 16,6 GW dari pembangkit berbasis energi fosil.

Adapun rinciannya untuk kapasitas pembangkit EBT adalah sebagai berikut Surya: 17,1 GW, Air: 11,7 GW, Angin: 7,2 GW, Panas bumi: 5,2 GW, Bioenergi: 0,9 GW, Nuklir: 0,5 GW.

Sementara itu, untuk kapasitas sistem penyimpanan energi mencakup PLTA pumped storage sebesar 4,3 GW dan baterai 6,0 GW. Kemudian, untuk pembangkit fosil masih akan dibangun sebesar 16,6 GW, terdiri dari gas 10,3 GW dan batubara 6,3 GW.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kaya Energi Terbarukan, Tapi yang Dimanfaatkan Tak Sampai 1%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular