Awas! Ekonomi RI Dalam 'Bahaya' Jika Tren Deflasi Berlanjut
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks harga konsumen di Indonesia telah lima bulan berturut-turut mengalami deflasi. Bila deflasi yang terjadi sejak Mei hingga September 2024 kembali berlanjut pada Oktober 2024, kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak normal.
Ekonom yang menjabat sebagai Kepala LPEM FEB Universitas Indonesia (UI) Chaikal Nuryakin menjelaskan, deflasi yang terjadi selama lima bulan memang dipicu oleh merosotnya inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food enam bulan beruntun.
Sejak April hingga September 2024, deflasi volatile food tampak terus terjadi bahkan posisi deflasi per September ini sebesar 1,34% dengan andil deflasi sebesar 0,21%. Lebih dalam dari posisi deflasi pada Agustus 2024 yang minusnya sebesar 1,24%.
"Sekarang inflasi umumnya deflasi yang disebabkan oleh deflasinya harga-harga yang bergejolak," kata Chaikal dalam Youtube LPEM FEB UI, dikutip Jumat (11/10/2024).
Kondisi itu yang kemudian menyebabkan angka indeks harga konsumen (IHK) deflasi pada Mei 2024 sebesar 0,03%, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08%, dan Juli 2024 sebesar 0,18%, Agustus 0,03%, serta September menjadi 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm).
Chaikal menjelaskan, harga pangan bergejolak memang tak menentu, karena sangat tergantung berbagai faktor, mulai dari faktor musiman seperti hari besar keagamaan, hari libur, musim panen, hingga permintaan dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
"Itu berarti dia memang akan sangat volatile, maksudnya dia akan turun dan naik. Yang which is kita tahu ada namanya apa yang disebut dengan mean reversion," ucap Chaikal.
Dalam kondisi normal, Chaikal menyebutkan, deflasi harga pangan bergejolak terjadi rata-rata selama dua sampai tiga bulan beruntun, lalu setelahnya akan kembali mengalami inflasi dalam periode yang sama, yakni dua atau tiga bulan beruntun. Ketika beruntun menjadi enam bulan, maka kondisi itu ia sebut tak normal.
"Selalu begitu biasanya, secara normal, tapi kalau sekarang enggak, ini sudah enam bulan deflasi. Nah pertanyaannya mengapa? Apa yang terjadi dengan sekarang? Berarti kita harus mempertanyakan apa yang terjadi dengan harga-harga yang bergejolak," ucap Chaikal.
Menurut Chaikal, ketidaknormalan itu tidak bisa disebut karena daya beli masyarakat tengah anjlok, apalagi dikaitkan dengan adanya data penurunan kelas menengah. Sebab, golongan kelas menengah ke bawah menjadikan bahan pangan sebagai kebutuhan dasarnya, sehingga tak mungkin berkurang konsumsinya.
"Bagaimanapun tetap dibutuhkan basic needs. Yang justru mungkin malah ya mungkin tidak konsumsi entertainment, konsumsi leisure, mungkin mereka pada akhirnya membuat saving atau tabungan justru mengalihkan konsumsi-konsumsi tersebut kepada makanan," tutur Chaikal.
Di sisi lain, angka inflasi inti secara tahunan atau year on year yang lebih mencerminkan daya beli masyarakat masih naik menjadi 2,09%. Walaupun disebabkan dorongan harga emas yang meningkat secara global karena ketidakpastian kondisi dunia internasional akibat perang, situasi politik dan ekonomi, hingga krisis.
"Jadi inflasi inti tetap mengalami inflasi ya yang berarti memang sebenarnya juga tidak terlihat ya penurunan daya beli kalau dari sana meskipun beberapa pengamat mengatakan bahwa inflasi inti kemungkinan juga terlalu bias karena di dalamnya juga ada harga emas," ungkapnya.
Oleh sebab itu, Chaikal menduga, faktor pendorong deflasi selama lima bulan beruntun ini bisa saja disebabkan manajemen pasokan yang semakin baik, sehingga membuat biaya logistik menurun. Tapi, ia mengingatkan, belum ada survei konkret yang menunjukkan dugaan membaiknya biaya produksi bahan pangan ini.
"Misalnya juga kita tahu global harga pupuk sekarang menurun itu sudah sejak 2023 bahkan harga pupuk dunia tuh sudah mencapai nilai terendah, saya lupa dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Faktor lain, Chaikal mengatakan, deflasi beruntun juga bisa saja disebabkan tidak adanya bencana alam yang menyebabkan sentra produksi pangan terganggu, ataupun jalur produksinya selama satu tahun terakhir.
"Kita enggak mendengar tuh banyaknya banjir, banyaknya tanah longsor, banyaknya kekeringan 2024 ini. Itu juga yang peculiar terjadi. Jadi boleh jadi semua-semuanya itu secara kebetulan mendorong deflasi bareng-barang bergejolak," tegas Chaikal.
(arj/haa)