Internasional

Dunia 'Tenggelam' dalam Utang, Janji Manis Politisi Bikin Sengsara

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Kamis, 04/07/2024 07:02 WIB
Foto: Infografis/Negara dengan Hutang Terbanyak/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara di dunia tengah berhutang sebesar US$91 triliun atau setara Rp1.492.186 triliun, jumlah yang hampir sama dengan ukuran perekonomian global. Kenaikan utang ini disebut akan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dunia.

Beban utang telah meningkat begitu besar, yang sebagian karena dampak pandemi, sehingga kini menjadi ancaman tinggi terhadap standar hidup bahkan di negara-negara kaya, termasuk Amerika Serikat (AS).

Sayangnya, pada tahun pemilu di seluruh dunia, sebagian besar politisi disebut mengabaikan masalah ini. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan memberikan janji-janji yang tidak berguna yang setidaknya dapat mendongkrak inflasi lagi dan bahkan dapat memicu krisis keuangan baru.


Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu menegaskan kembali peringatannya bahwa "defisit fiskal kronis" di AS harus "segera diatasi." Para investor telah lama merasakan kegelisahan mengenai arah jangka panjang keuangan pemerintah AS.

"(Tetapi) defisit yang terus berlanjut dan meningkatnya beban utang (sekarang) menjadikan hal ini lebih menjadi kekhawatiran jangka menengah," kata Roger Hallam, kepala suku bunga global di Vanguard, salah satu manajer aset terbesar di dunia, seperti dikutip CNN International.

Ketika beban utang meningkat di seluruh dunia, investor makin cemas. Di Prancis, gejolak politik telah memperburuk kekhawatiran terhadap utang negara tersebut, sehingga imbal hasil obligasi, atau imbal hasil yang diminta investor, melonjak.

Putaran pertama pemilu sela pada hari Minggu lalu menunjukkan bahwa beberapa ketakutan terburuk pasar mungkin tidak terjadi. Namun bahkan tanpa adanya ancaman krisis keuangan dalam waktu dekat, para investor menuntut imbal hasil yang lebih tinggi untuk membeli utang banyak negara akibat kesenjangan antara belanja dan pajak yang membengkak.

Negara-negara yang berusaha mengatasi masalah utang sedang mengalami kesulitan. Di Jerman, pertikaian yang terus berlanjut mengenai batasan utang telah menempatkan koalisi pemerintahan tiga pihak di negara tersebut berada dalam tekanan yang sangat besar. Kebuntuan politik mungkin akan mencapai puncaknya pada bulan ini.

Di Kenya, pukulan balik atas upaya mengatasi beban utang negara sebesar US$80 miliar jauh lebih buruk. Usulan kenaikan pajak telah memicu protes nasional, yang telah memakan korban jiwa sebanyak 39 orang, sehingga Presiden William Ruto pekan lalu mengumumkan ia tidak akan menandatangani usulan tersebut menjadi undang-undang.

Akibatnya, biaya pembayaran utang yang lebih tinggi berarti lebih sedikit uang yang tersedia untuk layanan publik yang penting atau untuk merespons krisis seperti krisis keuangan, pandemi, atau perang.

Karena imbal hasil obligasi pemerintah digunakan untuk menentukan harga utang lain, seperti hipotek, kenaikan imbal hasil juga berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi rumah tangga dan bisnis, sehingga merugikan pertumbuhan ekonomi.

Menurut analis, ketika suku bunga naik, investasi swasta turun dan pemerintah menjadi kurang mampu meminjam untuk merespons kemerosotan ekonomi.

Mengatasi masalah utang Amerika memerlukan kenaikan pajak atau pemotongan tunjangan, seperti program jaminan sosial dan asuransi kesehatan, seperti dikatakan Karen Dynan, mantan kepala ekonom di Departemen Keuangan AS dan sekarang profesor di Harvard Kennedy School.

"Banyak (politisi) yang tidak bersedia membicarakan pilihan sulit yang harus diambil. Ini adalah keputusan yang sangat serius... dan bisa berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat."

Kenneth Rogoff, seorang profesor ekonomi di Universitas Harvard, setuju bahwa AS dan negara-negara lain harus melakukan penyesuaian yang menyakitkan.

"Utang tidak lagi gratis," katanya. "Pada tahun 2010-an, banyak akademisi, pembuat kebijakan, dan gubernur bank sentral berpandangan bahwa suku bunga akan selamanya mendekati nol dan kemudian mereka mulai berpikir utang adalah makanan gratis."

"Itu selalu salah karena Anda bisa menganggap utang pemerintah seperti memiliki hipotek dengan suku bunga fleksibel dan, jika suku bunga naik tajam, pembayaran bunga Anda akan naik banyak. Dan itulah yang terjadi di seluruh dunia."


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Inflasi Inggris Betah di Level Tinggi Pada Mei 2025