Rafaksi Minyak Goreng

2 Tahun Menanti, Pengusaha Pusing Uang Rp 474 M Tak Kunjung Cair

Martya Rizky, CNBC Indonesia
08 May 2024 11:50
Pekerja menata minyak di salah satu supermarket di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat, 26/4. Harga minyak goreng diprediksi bakal terus beranjak naik melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp14.000 per liter untuk jenis dalam kemasan dan minyak curah Rp15.500 per kg.
Foto: CNBC Indonesia/Muhamad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey meminta kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk segera memberikan kepastian waktu, terkait rencana pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng (migor). 

Polemik ini bermula saat  keluarnya Permendag 01 Tahun 2022 Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat pada 11 Januari 2022.

Dari aturan ini produsen dapat menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dengan mekanisme Rafaksi subsidi, dimana produsen akan memperoleh Dana Pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setelah melakukan penjualan kepada konsumen sesuai dengan HET. Namun, sampai saat ini belum cair ratusan miliar rupiah dari pemerintah.


Roy mengaku pihaknya belum mendapatkan informasi lebih lanjut soal kepastian pembayaran rafaksi migor tersebut. Bahkan, katanya, ia baru mendapatkan informasi setelah membaca berita.


"Kalau ditanya apakah ada info mengenai rafaksi, belum. Yang kami minta hanya kepastian. Apapun sebutannya, sebelum ada kepastian belum ada realisasi berarti," kata Roy kepada wartawan di Jakarta, Selasa (7/5/2024).


Padahal, katanya, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) sudah meminta Kemendag untuk segera membayarkan utang rafaksi itu pada rapat di bulan Maret lalu. Namun hingga memasuki bulan Mei, utang itu belum kunjung dilunasi.


"Yang kami butuhkan satu poin saja, yakni kepastian hari, tanggal, dan waktu dibayarkan rafaksi. Itu yang terus kita suarakan, terus kita perjuangkan ke kementerian dan lembaga lain, ke seluruh pemangku kepentingan di negara ini," ujarnya.


Roy mengaku, pihaknya sudah mendapatkan kabar bahwa pemerintah memang sedang memproses pembayaran itu, dengan memberikan surat rekomendasi dari Kemendag ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun sayangnya, kata dia, pihak peritel masih belum diajak berkomunikasi untuk menunjukkan itikad baik dari pemerintah.


Apabila memang ada perbedaan jumlah nilai utang antara klaim peritel dengan hitung-hitungan pemerintah, kata Roy, pihaknya hanya minta perhitungan tersebut dibuka dan transparan, agar anggota Aprindo lainnya bisa mengetahui berapa perbedaan klaimnya.


Sebagai catatan, terdapat perbedaan klaim jumlah nilai utang antara pemerintah dan pengusaha. Berdasarkan hitung-hitungan PT Sucofindo, utang rafaksi pemerintah ke pengusaha minyak goreng dan peritel sebesar Rp474,8 miliar. Sementara pengusaha ritel mengklaim utang pemerintah ke ritel sendiri ada sebanyak Rp344 miliar.


"Kalau memang diterima atau tidak oleh anggota, kita akan teruskan di babak berikutnya berkaitan dengan perhitungan," ucapnya.


Roy berharap agar permasalahan rafaksi migor ini bisa segera selesai, sebelum pergantian pemerintahan berikutnya.


"Bagaimana mungkin Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) itu dilakukan pada masa pemerintahan ini, terus nggak selesai, kemudian jadi tanggungan pemerintahan berikutnya dan seterusnya. Jadi, satu concern kami itu kepastian pembayaran," katanya.


(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos Ritel Ngaku Nekat, Tak Takut Gugat Kasus Minyak Goreng

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular