
Bos-Bos Migas Melawan, "Terjun Payung" Cegah Kematian Minyak Cs

Jakarta, CNBC Indonesia - Para eksekutif terkemuka di bidang minyak secara vokal menentang seruan untuk segera beralih dari bahan bakar fosil. Hal ini disampaikan mereka saat menghadiri konferensi energi besar pada Senin.
Transisi energi yang cepat ini dilakukan untuk menghadapi 'kiamat' bumi terkait perubahan iklim yang tengah berlangsung saat ini. Para bos-bos perusahaan minyak tersebut mengatakan bahwa transisi tersebut justru akan membebankan masyarakat, di mana mereka akan menanggung biaya yang besar untuk menggantikan minyak dan gas.
"Kita harus meninggalkan fantasi untuk menghentikan penggunaan minyak dan gas secara bertahap, dan sebaliknya berinvestasi pada minyak dan gas secara memadai untuk memenuhi permintaan," kata Amin Nasser, , produsen minyak terbesar di dunia, seperti dikutip Reuters, Selasa (19/3/2024).
Nasser menyebut meskipun terjadi pertumbuhan kendaraan listrik, tenaga surya dan angin, permintaan minyak tahun ini akan mencapai rekor baru sebesar 104 juta barel per hari tahun ini.
Ia menambahkan bahwa energi alternatif belum menunjukkan kemampuannya menggantikan hidrokarbon pada kebutuhan atau harga saat ini seraya membantah perkiraan Badan Energi Internasional mengenai puncak permintaan minyak pada tahun 2030.
CEO perusahaan minyak lainnya juga memiliki pandangan yang sama, yakni Wael Sawan dari Shell. Ia menyebut birokrasi pemerintah di Eropa memperlambat pembangunan yang diperlukan.
"Jika kita terburu-buru atau terjadi hal yang salah, kita akan mengalami krisis yang tidak akan pernah kita lupakan," tegas CEO Petronas Jean Paul Prates mengatakan kehati-hatian.
Sementara CEO Exxon Mobil Darren Woods juga mengatakan regulasi yang mengatur bahan bakar ramah lingkungan masih belum terselesaikan. Ia berujar masih banyak pekerjaan rumah.
"Anda mendengar beberapa pandangan yang sangat pragmatis di sini," kata CEO Woodside Energy, Meg O'Neill.
"Perdebatan publik mengenai transisi dan dampaknya semakin menimbulkan perpecahan di banyak negara. Ini menjadi emosional. Dan ketika segala sesuatunya emosional, maka menjadi lebih sulit untuk melakukan percakapan pragmatis," tambahnya.
Ia menyebut diperlukan waktu 20 hingga 40 tahun untuk membangun pasar. Termasuk menguji beberapa teknologi bahan bakar baru yang ramah lingkungan.
Sementara itu Menteri Energi Amerika Serikat (AS) Jennifer Granholm ikut menolak pandangan itu. Dia menyebut transisi ke bahan bakar ramah lingkungan merupakan "penyelarasan sistem energi dunia yang tidak dapat disangkal, tidak bisa dihindari, dan perlu dilakukan".
"Itu adalah satu pendapat," katanya mengenai prediksi Nasser mengenai berlanjutnya permintaan bahan bakar fosil dalam jangka panjang.
"Ada penelitian lain yang menunjukkan hal sebaliknya bahwa permintaan minyak dan gas serta permintaan fosil akan mencapai puncaknya pada tahun 2030."
Granholm tak menampik bahwa dunia tetap akan membutuhkan bahan bakar fosil di masa depan. Namun ia mengatakan bahwa teknologi yang menghilangkan karbon "adalah cara agar kita dapat terus menyalakan lampu dan terus mendorong solusi energi yang ramah lingkungan".
Permintaan minyak yang besar dan tidak terduga telah memperkuat penolakan industri terhadap tuntutan pemerintah dan aktivis untuk menghentikan pengembangan bahan bakar fosil. Para pembuat kebijakan juga telah mengalihkan fokus mereka pada keamanan dan keterjangkauan pasokan energi sejak Rusia menginvasi Ukraina dan selama konflik terbaru di Timur Tengah.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article CEO Saudi Aramco Lempar Kata Tak Terduga: Transisi Energi Dunia Gagal!
