Miris! Si Miskin Terhimpit Utang, Si Kaya Pesta Pora

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
17 November 2023 11:30
DKI Jakarta disebut sebagai salah satu potret nyata yang menggambarkan jurang antara 'si kaya' dan 'si miskin'. Ketimpangan di Ibu Kota dianggap paling lebar. Wakil Presiden Jusuf Kalla Kesenjangan ini bisa kita ukur secara teoritis dalam gini rasio. Tapi juga tentu kita lihat sendiri dalam pandangan mata, Jakarta ini sebenarnya suatu kesenjangan yang paling besar, JK memandang, potret kesenjangan di Ibu Kota terlihat jelas dari kehadiran perumahan elit di beberapa bagian kota. Namun, tidak sulit juga untuk menemukan perumahan kumuh di DKI Jakarta. Sebagai informasi, DKI Jakarta memang termasuk satu dari sembilan daerah dengan tingkat kesenjangan sosial tertinggi di Indonesia. Posisi Jakarta berada di urutan 8 dengan angka 0,390 poin. Adapun tingkat kesenjangan sosial tertinggi berada di DI Yogyakarta 0,422 poin, Gorontalo 0,417 poin, Jawa Barat 0,405 poin, Papua 0,398 poin, dan Sulawesi Tenggara 0,392 poin, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Jurang si kaya dan si miskin di Tanah Air makin melebar, seiring dengan kondisi perekonomian yang penuh tantangan saat ini. Bukti terbaru menunjukkan kondisi kantong dua golongan ini.

Survei Bank Indonesia (BI) bulan Oktober menunjukkan kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp1-4 juta mulai menahan belanjanya sementara kelompok menengah atas berfoya-foya.

Dari catatan BI, ada perbedaan dalam hal belanja antara kelompok berpenghasilan. Porsi konsumsi masyarakat dengan pengeluaran Rp1-2 juta turun menjadi 76,7%. Proporsi tersebut adalah yang terendah sejak Juni 2023 atau dalam empat bulan terakhir.

Konsumsi masyarakat dengan pengeluaran Rp2,1-3 juta melemah menjadi 76,5%, lebih rendah dibandingkan September yang tercatat sebesar 77,1%. Sedangkan konsumsi masyarakat dengan pengeluaran Rp3,1-4 juta juga menurun menjadi 73,7%, terendah sejak Mei 2023 atau dalam lima bulan terakhir.

Lebih lanjut, kelompok pengeluaran di atas Rp5 juta, konsumsinya naik menjadi 68,4% pada Oktober atau naik tipis dibandingkan pada September yang tercatat 68,3%. Kelompok tersebut mengorbankan tabungannya yang akhirnya turun menjadi 18%.

Survei BI menunjukkan kelompok tersebut pun menggunakan tabungannya untuk membayar cicilan yang mengalami kenaikan dengan porsi 13,6% pada Oktober 2023 atau naik 0,2 percentage point dibandingkan September.

Dapat disimpulkan, pergerakan survei di atas menunjukkan konsumsi masyarakat menengah ke bawah Indonesia tercermin tertahan. Bahkan, kelompok masyarakat dengan pengeluaran Rp 1-2 juta mengurangi konsumsi karena ada cicilan yang dibayar lebih besar (7,1%) dan menambah proporsi tabungannya (15,7%).

Kelompok masyarakat berpengeluaran Rp 2,1-3 juta mengurangi konsumsi dan tabungan karena harus membayar cicilan yang jauh lebih besar. Proporsi cicilan naik menjadi 8,2% pada Oktober 2023, lebih tinggi dibandingkan 7,4% pada September.

Si Kaya Masih Belanja

Kondisi konsumsi kaum menengah ke bawah yang melambat diakui oleh sejumlah pihak, termasuk pengusaha ritel. Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah juga mengungkapkan, khusus terkait daya beli, sebetulnya kalangan masyarakat menengah atas masih menjadi pengunjung utama ritel dan pusat belanja seperti di mal, lantaran mereka hingga kini pun masih bisa berpelesiran ke luar negeri.

"Kalau sektor menengah atas kami sih mereka masih berbelanja bahkan ke luar negeri. Jadi itu mungkin di level kelas menengah dan ke bawah yang mungkin terkena masalah online tadi karena barang-barang di online yang branded costumer tidak mau beli tapi spent di mall, kalau enggak dapat ke luar negeri," tegas Budiharjo.

Dia menambahkan kondisi daya beli masyarakat kelas menengah masih banyak menjadi customer karena dengan tingkat bunga acuan bank sentral yang saat ini tinggi dapat mempertinggi bunga tabungannya. Hanya saja, kelas menengah ke bawah dinilainya memang cenderung tertekan inflasi.

Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan Anny Ratnawati menuturkan tekanan daya beli terhadap kelas menengah ke bawah itu disebabkan tekanan inflasi bahan pangan atau volatile food yang terus meninggi saat ini akibat efek berkepanjangan El-Nino, dan masuknya masa tanam di Indonesia.

Pada November 2023, BPS mencatat inflasi secara tahunan memang masih terkendali di level 2,56% meski naik dari bulan sebelumnya di level 2,28%. Namun, untuk inflasi volatile food sudah bergerak tinggi kenaikannya ke level 5,54% dari sebelumnya di level 3,28%. Kondisi ini menurutnya menjadi salah satu indikator tertekannya daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah karena porsi belanja mereka terbesar ada pada pangan ketimbang aktivitas lain.

"Sehingga masyarakat miskin bawah itu konsumsinya itu antar 60%-63% dari income-nya untuk konsumsi pangan. Kalau inflasinya menghit pangan, pasti presentasenya naik, sehingga terjadi penurunan daya belinya. Jadi penurunan demandnya bukan karena faktor hari raya dan libur panjang, ini yang harus kita cermati," ujar Anny.

Tidak hanya masyarakat kelas menengah ke bawah, Anny melihat untuk masyarakat kelas menengah sendiri menurut Anny komponen belanja bahan pangan juga masih cukup besar, dengan porsi hingga 50%. Menyebabkan mereka menurunkan porsi belanja untuk barang-barang lain karena juga diperburuk oleh tekanan suku bunga acuan Bank Indonesia yang telah naik ke level 6%.

"Konsumsi mobil, rumah, itu mulai turun, karena golongan menengah income nominalnya kena inflasi, jadi income realnya turun. Sehingga pengaruhnya adalah daya belinya, sementara dia harus mencicil. Ini yang mungkin perlu kita antisipasi penurunan daya beli," kata Anny.

Deni Surjantoro, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), membenarkan bahwa El Nino telah mendorong kenaikan inflasi volatile food termasuk beras.

Oleh sebab itu, pemerintah merilis paket kebijakan untuk stabilisasi ekonomi dan melindungi daya beli masyarakat. Paket kebijakan tersebut terdiri dari tiga kebijakan utama.

Pertama yaitu 'Penebalan Bansos' untuk melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan. Kebijakan kedua yaitu 'Percepatan Penyaluran Program KUR' ditujukan untuk penguatan UMKM guna menopang pertumbuhan di tengah peningkatan suku bunga.

Ketiga, kebijakan 'Penguatan Sektor Perumahan'. Kebijakan ini ditempuh dengan pertimbangan efek pengganda sektor yang besar. Sampai dengan September 2023, kinerja sektor Perumahan berada dalam trend melambat sehingga perlu adanya intervensi untuk menggairahkan kembali kinerja sektor ini. Hal tersebut diharapkan mampu menopang kinerja perekonomian di tengah risiko perlambatan global.

Hal ini dilakukan untuk tetap melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan, serta dapat menjaga pertumbuhan ekonomi 2023 di kisaran 5%.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Sukses Kontrol Inflasi, Tapi Rakyat Mulai 'Makan Tabungan'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular