
BMKG Ingatkan Ancaman Malapetaka Intai Indonesia Emas 2045

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan ada ancaman yang bisa menimpa Indonesia justru saat memasuki periode emas di tahun 2045-2050.
Tak hanya itu, pada saat bersamaan, krisis pangan juga mengintai hampir seluruh negara di dunia. Hal itu disampaikan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengutip proyeksi organisasi pangan dan pertanian dunia, Food and Agriculture Organization (FAO). Jika hal itu terjadi, imbuh dia, sekitar 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80% sumber pangan dunia akan jadi yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim.
Berdasarkan data badan meteorologi dunia, World Meteorological Organization (WMO) yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, kata Dwikorita, BMKG memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di berbagai negara.
"Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan, baik di negara maju maupun berkembang, baik Amerika, Afrika dan negara lainnya sama saja," katanya dalam keterangan di situs resmi BMKG dikutip Rabu (18/10/2023).
Dia memaparkan data analisis peta global yang menunjukkan debit rata-rata air sungai pada tahun 2022 yang dikategorikan pada posisi normal hanya 38%.
Sementara itu banyak debit air sungai yang keluar menuju laut berada pada level di bawah normal atau jauh di bawah normal yang artinya daerah tersebut mengalami kekeringan.
"Di daerah lain di dunia ada yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran. Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama," ujarnya.
"Saat ini Indonesia memang belum terdeteksi mengalami hotspot air namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi. Sehingga, jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada tahun 2045-2050, di saat Indonesia memasuki masa emas, akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan," kata Dwikorita.
Dia menambahkan, perubahan iklim akan mengganggu perekonomian suatu negara. Di mana, ujarnya mengutip data WMO, negara maju bisa mengalami 60% dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
"Namun di negara berkembang, terdampak 7% dari bencana menyebabkan kerugian 5-30% dari PDB. Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB dan di beberapa kasus bisa melebihi 100%," sebutnya.
Dia berharap, data dan informasi yang terpapar saat ini tidak hanya diartikan ke dalam sebuah kebijakan, tapi juga pemahaman bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia.
"Ini persoalan kemanusiaan, keselamatan bumi, bahkan peradaban. Ini menyangkut pelbagai negara, kelompok masyarakat hingga berbagai suku jadi harus kolaborasi," ujar Dwikorita.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BMKG Warning 2 Ancaman Ini Serius Bawa Petaka Bagi Bumi