Ekonomi China, India, & AS Ngeri, Tapi RI Paling Bikin Kaget!

Hadijah Alaydrus & Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Selasa, 25/07/2023 11:55 WIB
Foto: (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar tidak baik datang dari global. Pascapandemi Covid-19, perekonomian global masih dihadapkan oleh tantangan berat. Perlambatan ekonomi tidak bisa dihindari, seiring dengan perang Ukraina dan Rusia yang belum jua usai, tingginya tingkat suku bunga dan krisis utang yang membebani separuh dunia.

Hal ini pun yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepulangnya dari pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Gujarat, India, minggu lalu, 16-18 September 2023.

Dia mengatakan koleganya, menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20, sepakat bahwa kondisi ekonomi global belum kembali ke kondisi normal. Alhasil, pertemuan ini berada dalam suasana yang tidak cukup baik.


"Banyak yang gambarkan kondisinya (ekonomi global) melemah, meski diakui pelemahannya tidak seburuk seperti yang diprediksikan tahun lalu," paparnya, dalam Konferensi Pers APBN Kita, dikutip Selasa (25/7/2023).

Menurut Sri Mulyani, banyak Menteri Keuangan yang menceritakan situasi negaranya cukup buruk. Indikatornya dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi tinggi maupun ruang fiskal yang sempit.

"Tren pelemahan itu banyak dilaporkan negara-negara G20 terutama negara-negara besar," terangnya.

Tergambar, Purchasing Managers' Index (PMI) banyak negara maju mengalami kontraksi. Sebanyak 61,9% negara-negara di dunia mengalami kontraksi PMI. Negara tersebut a.l. AS, Eropa, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Italia, Afrika Selatan, Brasil, Singapura dan Malaysia.

"Artinya PMI-nya di bawah 50 dan ini negara-negara yang memiliki peran besar terhadap ekonomi dunia, yaitu Amerika, Eropa, Jerman, Prancis, Jerman, Jepang, Korea," paparnya.

Padahal, dia menuturkan negara-negara ini adalah negara yang memiliki pengaruh besar pada perdagangan dunia.

"Sehingga PMI dari negara-negara ini patut kita waspadai. Apakah ini kecenderungan akan terus melemah dan tentu pada akhirnya mempengaruhi kondisi kinerja perekonomian global," ujarnya.

PMI Indonesia, kata Sri Mulyani, masih mengalami ekspansi yang terus terakselerasi.

"Artinya Indonesia terus bertahan pada posisi ekspansi dan bahkan sekarang posisi akselerasi sementara sebagian besar negara-negara yang merupakan pelaku ekonomi dunia mengalami deselerasi," kata Sri Mulyani.

Hal ini juga menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia cukup positif. Sri Mulyani bahkan mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki pertumbuhan terkuat dan persisten tinggi di dunia.

Hal tersebut dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dapat dipertahankan di atas 5 persen dalam 6 kuartal berturut-turut. Bahkan, pertumbuhan ini berpotensi berlanjut pada kuartal II-2023.

Sri Mulyani mengatakan angka pertumbuhan yang konsisten ini dicapai di tengah perang, kenaikan harga pangan, energi serta kenaikan suku bunga.

"Jadi kalau tujuh kuartal itu bisa di atas 5%, itu kita melakukan sesuatu dengan benar," kata Sri Mulyani. Pernyataan ini berarti Indonesia akan kembali membukukan pertumbuhan di atas 5% pada kuartal II-2023, setelah enam kuartal berturut-turut tumbuh di atas 5% atau tepatnya sejak kuartal IV-2021.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada kuartal II-2023. Perkembangan postif ini dibagikannya kepada menteri keuangan G20 dan mereka terpukau dengan kinerja ekonomi Indonesia.

"Indonesia sekarang stay di 5%, mereka drop the jaw (terpukau)," ujar Sri Mulyani. Sementara itu, India dan Turki membukukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, inflasi dan defisit fiskalnya juga cukup tinggi.

Ekonomi India tumbuh 9,1% pada 2022. Ini menunjukkan bahwa India menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat setelah pandemi. S&P Global Ratings bahkan memperkirakan India akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dalam tiga tahun ke depan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,7%.

Namun, inflasi India masih lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Inflasi ritel India, yang diukur dengan indeks harga konsumen (IHK), naik ke level tertinggi tiga bulan sebesar 4,81% pada Juni 2023, dari 4,25% pada Mei tahun ini, mengutip data terbaru dari Kementerian Statistik dan Implementasi Program.

IHK India mencapai level tertinggi 7,79% pada April 2022, dan terendah 4,06% pada Januari 2021. Dilansir CNBC Internasional, India tengah menghadapi kenaikan harga pangan. Alhasil, negara ini melarang ekspor beras non-basmati minggu lalu (20/7/2023).

Negara Asia Selatan itu juga bergulat dengan harga sayur, buah, dan biji-bijian yang tinggi. Harga tomat di India melonjak lebih dari 300% dalam beberapa pekan terakhir karena cuaca buruk.

Sementara itu, defisit fiskal India berada di kisaran 6,4% untuk tahun keuangan terakhir yang berakhir pada 31 Maret 2023, menyempit dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dari target Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman. India menargetkan tingkat defisit fiskal di bawah 4,5% dari PDB.

Lebih lanjut, Turki telah mengalami pemulihan setelah ekonomi dihantam pandemi. Tingkat inflasi bulanan Turki untuk bulan Juni tercatat lebih rendah dari yang diharapkan, seiring dengan jatuhnya mata uang lira setelah terpilihnya kembali Presiden Recep Tayyip Erdogan.

Indeks harga konsumen (IHK) Turki naik 3,92% bulan ke bulan pada Juni lalu. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan awal para ekonom dan pasar.

Kenaikan terbesar berasal dari harga tembakau dan minuman beralkohol yang melonjak 11,13%, sementara harga restoran dan hotel naik tipis 4,31%. Secara tahunan atau year-on-year (yoy), inflasi Turki masih tinggi, yakni naik 38,21%. Adapun, inflasi Turki sempat menyentuh 85,5% pada Oktober 2022. Ini adalah level tertinggi sepanjang masa.

Adapun, rasio utang pemerintah Turki tercatat sebesar 31,2% dari PDB pada akhir Maret 2022. Sementara itu, utang luar negeri atau external debt-nya mencapai 51.3% dari PDB di 2022, dibandingkan dengan 53.8% pada 2021.

Dari catatan CNBC Indonesia, utang pemerintah ke kreditur internasional mencapai US$ 451 miliar atau Rp 6.765 triliun, dimana utang jangka pendeknya mencapai US$ 185 miliar atau Rp 2.775 triliun.

Seperti Indonesia, posisi fiskal Turki juga mengalami defisit. Pada 2021, defisit negara ini mencapai 201,5 miliar lira dan menurun menjadi 139 miliar lira pada 2022. Namun, defisit ini melebar menjadi 219,64 miliar lira pada Juni 2023.

Meskipun kondisi Turki telah lebih baik seiring dengan berakhirnya pandemi dan kembalinya turis asing ke negara ini, tetapi ekonominya masih membutuhkan waktu untuk kembali stabil.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 8 Jurus Sri Mulyani Tembuskan 8%!

Pages