Amit-amit! Begini Jerat 'Lingkaran Setan' Negara Berkembang

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Jumat, 21/07/2023 07:25 WIB
Foto: Infografis/ PBB Beberkan Ciri Negara Gagal, Apa Termasuk RI? / Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Lingkaran setan atau jebakan utang publik membuat negara-negara berkembang sulit menginvestasikan anggaran demi memperbaiki kondisi masyarakatnya. Alih-alih mengembangkan pendidikan maupun kesehatan bagi rakyatnya, negara tersebut malah menghabiskan ruang fiskalnya untuk membayar bunga utang.

Kondisi ini pun tidak berujung sehingga membentuk lingkaran setan atau istilah ekonominya viscious cycle. Dalam laporan UN Global Crisis Response Group bertajuk "A World of Debt" edisi Juli 2023, terungkap bahwa jebakan utang publik itu tercipta karena tingginya beban utang negara-negara berkembang ketimbang negara-negara maju.

Tergambar dari imbal hasil obligasi negara-negara di kawasan Asia dan Oceania sebesar 6,5%, Amerika Latin dan Karibia 7,7%, dan Afrika 11,6%. Sedangkan Amerika Serikat hanya 3,1% dan Jerman hanya 1,5%.


"Rata-rata, negara-negara Afrika membayar pinjaman empat kali lebih banyak daripada Amerika Serikat dan delapan kali lebih banyak daripada negara-negara Eropa terkaya," kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam konferensi pers peluncuran laporan dikutip Jumat (21/7/2023).

Guterres menjelaskan, mahalnya biaya utang publik negara-negara berkembang dipicu komposisi krediturnya yang didominasi pihak swasta, mencapai 62% dari total utang luar negerinya atau naik dari catatan pada 2010 sebesar 47%.

Sisanya, berasal dari kesepakatan bilateral dengan porsi 14% atau menyusut dari catatan pada 2010 sebesar 22%, demikian juga yang berasal dari lembaga multilateral sebesar 24% atau turun dari 10 tahun sebelumnya sebesar 30%.

Meningkatnya porsi utang publik kepada kreditur swasta berdasarkan laporan PBB itu memunculkan dua permasalahan. Pertama, meminjam dari sumber swasta lebih mahal daripada pembiayaan lunak sumber multilateral dan bilateral.

Kedua, semakin kompleksnya basis kreditur membuat semakin sulit untuk berhasil menyelesaikan restrukturisasi utang bila diperlukan. Penundaan dan ketidakpastian pada akhirnya meningkatkan biaya penyelesaian krisis utang.

"Mereka hampir tidak memiliki ruang fiskal untuk investasi penting dalam (memenuhi) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) atau transisi ke energi terbarukan," ucap Guterres.

Akibat kondisi biaya pinjaman yang tinggi mempersulit negara-negara berkembang untuk mendanai investasi penting, yang pada gilirannya semakin melemahkan kesinambungan utang dan kemajuan menuju pembangunan berkelanjutan.

Pembayaran bunga utang di negara-negara berkembang tumbuh lebih cepat daripada pengeluaran publik untuk kesehatan, pendidikan, dan investasi selama dekade terakhir. Untuk pembayaran bunga utang pertumbuhannya mencapai 60,4%, kesehatan 54,7%, investasi 41,1%, dan pendidikan 40,8%.

Oleh sebab itu, Guterres mengungkapkan, 3,3 miliar orang atau hampir separuh dari total penduduk bumi yang mencapai 7,8 miliar, tinggal di negara-negara yang membelanjakan anggarannya lebih banyak untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan.

"Namun, karena sebagian besar utang yang tidak berkelanjutan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin, utang tersebut dinilai tidak menimbulkan risiko sistemik terhadap sistem keuangan global," tegas Guterres.

"Ini adalah fatamorgana. 3,3 miliar orang lebih dari sekadar risiko sistemik, ini adalah kegagalan sistemik. Pasar mungkin tampak belum menderita, belum. Tapi orang-orang (sudah)," ungkapnya.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Parlemen Iran Sepakat Keluar dari Badan Nuklir PBB