
PBB: Negara Gagal Itu Bayar Utang Lebih Besar dari Pendidikan

Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations meluncurkan laporan berjudul "A World of Debt" beberapa waktu lalu. Laporan ini menggambarkan besaran utang negara-negara di dunia yang telah menyebabkan krisis sistemik terhadap kehidupan manusia.
Dalam laporan itu, utang publik secara global telah mencapai US$ 92 triliun pada 2022, atau naik signifikan dari periode 2002 sebesar US$ 17 triliun. 30% dari total utang global itu dimiliki oleh negara-negara berkembang dengan tingkat bunga utang lebih tinggi dari negara-negara maju.
"Separuh dunia kita tenggelam dalam bencana pembangunan, yang dipicu oleh krisis utang yang menghancurkan. Itulah pesan utama dari laporan yang kami sajikan: A World of Debt," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat konferensi pers peluncuran laporan dikutip Kamis (20/7/2023).
Tingginya tingkat bunga utang negara-negara berkembang itu tergambar dari tingginya imbal hasil obligasi negaranya. Misalnya, kawasan Asia dan Oceania sebesar 6,5%, Amerika Latin dan Karibia 7,7%, dan Afrika 11,6%. Sedangkan Amerika Serikat hanya 3,1% dan Jerman hanya 1,5%.
"Rata-rata, negara-negara Afrika membayar pinjaman empat kali lebih banyak daripada Amerika Serikat dan delapan kali lebih banyak daripada negara-negara Eropa terkaya," ujar Antonio.
Oleh sebab itu, Antonio mengatakan, mayoritas belanja negara untuk pembayaran bunga utang saat ini di negara-negara berkembang lebih tinggi dibandingkan belanja untuk kesehatan, pendidikan, dan bahkan investasi.
Pembayaran bunga tumbuh lebih cepat daripada pengeluaran publik lainnya pada. Untuk pembayaran bunga utang pertumbuhannya mencapai 60,4%, kesehatan 54,7%, investasi 41,1%, dan pendidikan 40,8%.
Ini menurut Antonio menunjukkan kegagalan sistemik karena 3,3 miliar orang atau hampir separuh dari penduduk bumi yang mencapai 7,8 miliar tinggal di negara-negara dengan belanja yang lebih tinggi untuk pembayaran bunga utang ketimbang belanja untuk pendidikan atau kesehatan.
"Karena sebagian besar utang yang tidak berkelanjutan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin, utang tersebut dinilai tidak menimbulkan risiko sistemik terhadap sistem keuangan global. Ini adalah fatamorgana," tegasnya.
"3,3 miliar orang ini lebih dari sekadar menghadapi risiko sistemik. Ini adalah kegagalan sistemik. Pasar mungkin tampak belum menderita, belum. Tapi orang-orang sudah merasakan," ucap Antonio.
Antonio berpendapat, beberapa negara termiskin di dunia dipaksa untuk memilih antara membayar hutang mereka, atau melayani rakyat mereka. Mereka hampir tidak memiliki ruang fiskal untuk investasi penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau transisi ke energi terbarukan.
Menurutnya, Dana Moneter Internasional atau IMF pun telah mengatakan 36 negara sudah masuk ke dalam bagian yang disebut debt row atau barisan negara dengan utang berisiko tinggi. Enam belas lainnya membayar tingkat bunga yang tidak berkelanjutan kepada kreditor swasta.
Sebanyak 52 negara yang hampir 40 persen negara berkembang berada dalam masalah utang yang serius. Ia menegaskan, kondisi ini merupakan dampak dari ketimpangan yang terjadi dalam sistem keuangan global yang ketinggalan zaman dan mencerminkan kekuatan kolonial pada era ketika sistem keuangan global itu diciptakan.
"Ketika negara-negara terpaksa meminjam untuk kelangsungan ekonomi mereka, utang menjadi jebakan yang hanya menghasilkan lebih banyak utang. Laporan ini adalah gambaran rinci kami tentang krisis utang yang sedang berlangsung ini, dengan banyak perbandingan dan konteks," ucapnya.
Oleh sebab itu, Antonio mengatakan, melalui laporan ini PBB mengusung peta jalan baru untuk mencapai stabilitas sistem keuangan global melalui reformasi Arsitektur Keuangan Global dan Stimulus SDG.
"Proposal kami mencakup mekanisme penyelesaian utang yang efektif yang mendukung penangguhan pembayaran, jangka waktu pinjaman yang lebih lama, dan suku bunga yang lebih rendah, termasuk untuk negara berpenghasilan menengah yang rentan," tegas Antonio.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PBB Bongkar Fakta "Ngeri" Negara Tukang Ngutang