
Ini 3 Negara Berkembang 'Paling Ngutang' di Dunia, Ada RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations menyoroti tingkat bunga utang publik negara-negara berkembang yang lebih tinggi dibanding negara maju. Meskipun, dari sisi nilai masih jauh lebih rendah.
Dalam Laporan bertajuk "A World of Debt" edisi Juli 2023 yang disusun UN Global Crisis Response Group, nilai utang publik secara global pada 2022 mencapai US$ 92 triliun, naik dari kondisi 2002 sebesar US$ 17 triliun. 30% nya berasal dari negara berkembang.
Dari total utang ini, untuk golongan negara berkembang, China merupakan negara yang memiliki nilai utang terbesar mencapai US$ 13,95 triliun. Diikuti India US$ 2,81 triliun, Brazil US$ 1,65 triliun, dan Meksiko US$ 792 miliar.
Sementara itu, untuk golongan negara maju terbesar dimiliki Amerika Serikat US$ 30,98 triliun, Jepang US$ 11,06 triliun, Inggris US$ 3,15 triliun, Prancis US$ 3,09 triliun, Italy US$ 2,91 triliun, Jerman US$ 2,71 triliun, Spanyol US$ 1,56 triliun, dan Australia US$ 947 miliar.
Deretan nilai utang publik ini berkebalikan dengan tingkat bunga utangnya. Negara berkembang menanggung beban bunga utang yang lebih tinggi, tergambar dari imbal hasil obligasi kawasan Asia dan Oceania sebesar 6,5%, Amerika Latin dan Karibia 7,7%, dan Afrika 11,6%. Sedangkan Amerika Serikat hanya 3,1% dan Jerman hanya 1,5%.
"Rata-rata, negara-negara Afrika membayar pinjaman empat kali lebih banyak daripada Amerika Serikat dan delapan kali lebih banyak daripada negara-negara Eropa terkaya," kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres konferensi pers peluncuran laporan dikutip Jumat (21/7/2023).
Guterres menjelaskan, mahalnya biaya utang publik negara-negara berkembang dipicu komposisi krediturnya yang didominasi pihak swasta, mencapai 62% dari total utang luar negerinya atau naik dari catatan pada 2010 sebesar 47%.
![]() Laporan PBB tentang utang publik dunia pada 2022 (Dok: United Nations) |
Sisanya, berasal dari kesepakatan bilateral dengan porsi 14% atau menyusut dari catatan pada 2010 sebesar 22%, demikian juga yang berasal dari lembaga multilateral sebesar 24% atau turun dari 10 tahun sebelumnya sebesar 30%.
Meningkatnya porsi utang publik kepada kreditur swasta berdasarkan laporan PBB itu memunculkan dua permasalahan. Pertama, meminjam dari sumber swasta lebih mahal daripada pembiayaan lunak sumber multilateral dan bilateral.
Kedua, semakin kompleksnya basis kreditur membuat semakin sulit untuk berhasil menyelesaikan restrukturisasi utang bila diperlukan. Penundaan dan ketidakpastian pada akhirnya meningkatkan biaya penyelesaian krisis utang.
"Sebagian porsi utang dipegang oleh kreditur swasta yang membebankan suku bunga setinggi langit ke banyak negara berkembang," ucap Guterres.
Kondisi ini memicu negara-negara berkembang lebih banyak membelanjakan anggarannya untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan. Akhirnya berdampak pada 3,3 miliar orang yang bermukim di negara-negara itu.
"Ini adalah kegagalan sistemik. Pasar mungkin tampak belum menderita, tapi orang-orang (sudah). Beberapa negara termiskin di dunia dipaksa untuk memilih antara membayar utang mereka, atau melayani rakyat mereka," ujar Guterres.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kaget! Ini Negara dengan Utang Publik Terbesar No.1 di Dunia