Duh! Likuiditas Dolar di Indonesia Lagi Kering Nih, Beneran?

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
13 July 2023 11:44
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pelaku pasar mengakui saat ini likuiditas valas atau dolar Amerika Serikat (AS) di pasar keuangan tanah air saat ini sedang terbatas alias kering.

Mengeringnya likuiditas dolar tercermin dari adanya pengakuan beberapa pihak yang kesulitan mendapatkan dolar AS untuk kebutuhan operasionalnya.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengkonfirmasi, benar saat ini likuiditas dolar AS di pasar keuangan tanah air sedang kering. Hal ini, kata dia disebabkan oleh masih tingginya perbedaan angka suku bunga Bank Indonesia (BI) dan suku bunga bank-bank sentral negara maju.

Seperti diketahui saat ini, BI masih mempertahankan tingkat suku bunga acuan atau BI- 7 Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) sebesar 5,75%. Lebih tinggi sedikit dari suku bunga bank-bank sentral di negara maju seperti Inggris yang sebesar 5%, Eropa sebesar 3,5%, dan AS yang sebesar 5% - 5,25%.

"Jadi memang suatu hal yang normal secara teori ekonomi mata uang melemah, karena adanya gap suku bunga domestik dan global. Ini juga terlihat dari berkurangnya cadangan devisa Bank Indonesia (BI) secara drastis," jelas Satria kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Rabu (12/7/2023) malam.

"Jadi, memang yang dilakukan BI dalam 2-3 hari terakhir adalah menyediakan valas langsung kepada pembeli besar dari cadangan devisa," kata Satria lagi.

Posisi cadangan devisa Indonesia terus menyusut. Pada Juni 2023, cadangan devisa Indonesia tercatat sebesar US$ 137,54 miliar atau sudah berkurang US$ 7,66 miliar sejak Maret 2023 yang sebesar US$ 145,2 miliar.

"Itu terjadi dengan biaya devisa yang dikeluarkan oleh BI sebesar US$ 7 miliar dalam dua bulan terakhir atau sekitar Rp 90 triliun. Kira-kira seperti itu," jelas Satria.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan, ketatnya likuiditas dolar di pasar domestik karena masih kuatnya ekspektasi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan.

"Jangka pendek dan kebutuhan dolar kita tinggi banget. So far saya lebih short term. Karena di sini ada pengaruh bayar dividen atau kebutuhan Pertamina tinggi, kalau ini sudah diatasi dengan strategi, dia bisa mengurangi volatilitas.

Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, dari sisi surplus transaksi perdagangan memang mulai terlihat menurun, namun tidak terjadi aliran modal keluar yang signifikan dari pasar keuangan domestik.

"Kami memperkirakan likuiditas dolar AS di pasar keuangan domestik masih cenderung solid, meskipun dengan tren penguatan dolar AS saat ini," jelas Josua.

Senada dengan Josua, Kepala Ekonom David Sumual juga mengungkapkan repatriasi dividen, government bond dan trade surplus sudah mulai menurun sejak Mei 2023.

"Kalau lihat instrumen valas bank di BI sebetulnya penurunannya terbatas ya," jelas David.


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aturan Tahan Dolar di RI Ada di Meja Jokowi, Ini Bocorannya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular