
Timbang-timbang Redenominasi Rupiah, Apa Untungnya Bagi RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu redenominasi kembali muncul di tengah-tengah masyarakat, setelah pemerintah dan Bank Indonesia berencana memangkas nominal mata uang rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, tanpa mengubah nilai tukarnya.
Upaya ini pemerintah dan BI lakukan pada saat perekonomian Indonesia stabil, mulai dari sisi pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5% hingga inflasi yang terjaga di kisaran target 3% plus minus 1%.
Ekonom senior Indonesia, Raden Pardede menjelaskan sebetulnya berdasarkan pola kebijakan redenominasi yang telah dilakukan berbagai negara, mayoritas dilakukan pada saat terjadinya hiperinflasi atapun konflik di negara yang bersangkutan.
Setidaknya ada sekitar 40 negara yang menurutnya menerapkan kebijakan redenominasi dengan dua kondisi itu, seperti Zimbabwe, Turki, hingga Brazil. Redenominasi itu mereka jadikan instrumen untuk menekan angka inflasi yang sangat tinggi.
"Kita tahu apa yang terjadi di Zimbabwe, di Turki, dan Brazil juga berkali-kali melakukan ini. Yang kedua mungkin juga saat terjadi konflik atau perang," ujar Raden dalam program Central Banking CNBC Indonesia, seperti dikutip Selasa (4/7/2023).
Oleh sebab itu, dengan kondisi ekonomi yang stabil, sebetulnya redenominasi bukan hal yang mendesak untuk diterapkan. Menurutnya, Ini karena redenominasi tidak memiliki dampak signifikan bagi kondisi perekonomian secara makro.
"Sebetulnya ini tidak urgent-urgent banget, ini bukan sesuatu yang sangat penting dari sisi dampaknya terhadap makro ekonomi, terhadap ekonomi sendiri, ini tidak terlampau banyak. Biasanya redenominasi itu dilakukan dengan motivasi pada saat kita atau negara itu menghadapi hiperinflasi," tuturnya.
Kendati demikian, dalam kondisi ekonomi yang cenderung stabil, dan tak adanya konflik atau peperangan yang tengah dihadapi, redenominasi hanya berguna sebagai instrumen untuk menyederhanakan administrasi atau laporan keuangan secara umum.
Maka, Raden menegaskan, tak heran jika masyarakat sudah banyak yang menerapkan redenominasi sebelum pemerintah secara resmi menerapkan. Terlihat dari daftar harga seperti di menu rumah makan atau kafe yang menggunakan huruf K atau menghapus sama sekali 000 nominal rupiah.
"Supaya lebih kecil dari Rp 15.000 kenapa tidak ditulis Rp 15, karena Indonesia tidak dalam keadaan hiperinflasi dan konflik, konflik perang contohnya, jadi semata-mata untuk administrasi keuangan. Memang kalau menyederhanakan administrasi bisa saja," ungkap Raden.
Kegunaan lainnya melakukan redenominasi di tengah stabilnya perekonomian adalah menjaga psikologis pasar terhadap daya saing nilai tukar rupiah, meski tak mencerminkan nilai asli daya tukarnya.
"Jadi argumennya semata-mata administrasi, keuntungan lainnya hanya semata kalau kita menjadi Rp 15 ya kita persoalan persepsi, psikologi saja, no more than that, enggak ada lebih dari situ," ungkap Raden.
Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memasukkan RUU Redenominasi Rupiah ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024. Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020.
Meski belum ada pembahasan resmi antara pemerintah dengan DPR terkait RUU itu, BI telah lama melakukan kajian untuk penerapan redenominasi, yaitu sejak 2010. Sayangnya, RUU itu tidak dilanjutkan proses legislasinya hingga kini oleh pemeritnah dan DPR, salah satu kendala ialah pandemi yang terjadi pada awal 2020.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Simak! Begini Asal-usul Wacana RI Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1
