
Mau Pangkas Tiga Nol di Rupiah, Warga RI Tak Lagi Shock!

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya kembali muncul di tengah-tengah masyarakat. Berbagai kalangan masyarakat ternyata sudah tahu rencana pemangkasan tiga digit 000 di uang rupiah.
Bahkan, pemahaman ini sudah masyhur lantaran banyak toko yang sudah mencantumkan harga pada barang dagangannya tanpa embel-embel ribuan atau 000. Ada juga yang menggantinya dengan huruf K atau kilo yang berarti ribu.
Seorang karyawati yang CNBC Indonesia temui di kawasan Jakarta Pusat, Anis (28) mengatakan, tidak kaget ketika muncul isu redenominasi rupiah. Sebab ia mengaku sudah terbiasa melihat rupiah dengan angka yang sederhana di toko-toko.
"Penjual-penjual itu bisnis mereka juga mulai pakai K, jadi enggak kaget," katanya.
Senada, Icha (30) berujar hal serupa. Bahkan ia mengaku optimistis, rupiah bisa terlihat lebih efisien karena bila dibandingkan dolar yang satunya setara Rp 15.000, menjadi lebih tampak setara ketika hanya ditulis Rp 15, tanpa menggunakan ribuan.
"Kalau lihat value ribuan terkesannya kayak harga rupiah anjlok banget yah, karena kan perbandingannya kayak satu dengan belasan ribu," ujarnya.
Dari kalangan pedagang, juga banyak yang mendukung rencana ini, lantaran membuat tampilan nilai rupiah semakin sederhana. Mereka pun sudah menggunakan huruf K pada tabel harga di daftar menunya.
Salah satunya Windy Dewi, Pemilik Takochan Takoyaki di Jl. Naman Nomor 1, Pertigaan Antara, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ia mengaku, sejak menggunakan K dalam daftar menu pada 2017 silam, konsumennya juga tak ada yang bingung.
"So far sih enggak ada, karena enggak ada yang salah bayar juga, dan enggak menyulitkan juga dengan K," ujar Windy.
Sudah semakin percayanya masyarakat terhadap rupiah dan tak kagetnya dengan rencana redenominasi ternyata bisa mampu membuat nilai tukar rupiah semakin kuat dan banyak digunakan masyarakat, ketimbang lari menggunakan dolar.
Ini sebagaimana termuat juga dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi dan Universitas Brawijaya bertajuk "Redenominasi dan Hubungannya dengan Inflasi dan Nilai Tukar (Pengalaman Beberapa Negara)" pada 2014 karya Rizki Belan Syahputra.
Menurut penulis, jika masyarakat percaya bahwa mata uang baru akan mempertahankan nilainya, masyarakat mungkin akan berganti dari menggunakan mata uang asing menjadi kembali memakai mata uang lokal dalam transaksi.
Dengan demikian, kekhawatiran terjadinya hiperinflasi di tanah air pasca redenominasi sebagaimana yang terjadi pada 1965 tak lagi akan terjadi. Saat itu hiperinflasi mencapai 650% setahun setelah redenominasi sehingga redenominasi kala itu dianggap gagal.
Ini sebagaimana dikutip dari Jurnal Manajemen Keuangan Publik berjudul "Urgensi Penerapan Redenominasi Rupiah Dalam Bidang Keuangan Negara" (2019) karya Hoirotus Sya'baniyah Firliyanti.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kapan Waktu yang Tepat Bagi RI Ubah Rp 1.000 Jadi Rp 1?