Ubah Rp1.000 Jadi Rp1

Dianggap Bikin Ribet, Orang RI Masih Was-was Redenominasi

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
29 June 2023 12:00
Ilustrasi Investasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Investasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat mengkhawatirkan rencana kebijakan redenominasi yang memangkas mata uang rupiah Rp 1.000 menjadi Rp 1 dapat memicu kenaikan harga-harga barang. Bank Indonesia pun telah melihat persoalan serupa.

Ini disampaikan berbagai kalangan, baik pedagang maupun konsumen. Dari sisi pedagang, di antaranya Agung, pengusaha Ayam Penyet Manjur di Jl. Kertamukti, Ciputat Timur, Tangerang Selatan.

Agung sebetulnya telah memangkas nominal ribuan atau "000" mata uang rupiah dalam daftar harga menu yang ia sajikan. Nominal ribu itu ia ganti dengan huruf K sebagaimana sudah marak lebih awal di kafe-kafe dan restoran besar.

Untuk ayam sambal hijau atau dadak ia tampilkan dengan harga 18K, dan kol goreng 3K. Huruf "K" atau kilo (chilioi dalam bahasa Yunani) menjadi tren sebagai simbol kata "ribu".

Meski telah melakukan redenominasi pada harga menunya, Agung khawatir penerapan redenominasi yang direncanakan pemerintah membuat harga bahan bakunya naik, sebab berpotensi dibulatkan penjual harganya.

Misalnya, untuk harga ayam yang pernah Rp 28.600 per ekor, ketika di redenominasi menjadi Rp 28,6 dibulatkan oleh peternak menjadi Rp 29, lantaran harganya terlihat murah karena 000 telah dihapus.

"Pasti ada takut kayak gitu, karena masih ada kebingungan pasti," kata Agung kepada CNBC Indonesia.

Karena itu, Agung mengaku, saat redenominasi, harus ada pecahan lain yang menjelaskan digit detail sebagaimana rupiah saat ini. Sebab, dalam pembukuan usahanya, ia mengaku masih menggunakan 000.

"Paling kalau gitu sih ya taruh koma, lebih nya berapa," ujar Agung.

Pemanfaatan model harga dalam menu ini juga diterapkan di Crispy Chop Steak House yang berlokasi di Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)Foto: Pemanfaatan model harga dalam menu ini juga diterapkan di Crispy Chop Steak House yang berlokasi di Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)
Pemanfaatan model harga dalam menu ini juga diterapkan di Crispy Chop Steak House yang berlokasi di Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Arrijal Rachman)

Pernyataan serupa disampaikan Windy Dewi, Pemilik Takochan Takoyaki di Jl. Haji Naman No. 1, Pertigaan Antara, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ia mengaku khawatir, ketika diredenominasi pecahan Rp 200 dan Rp 500 tak akan ada nilainya lagi.

"Salah satu dilema juga sih ya itu Rp500 an, Rp 200 an jadi hilang ya," ucap Windy yang juga telah menggunakan huruf K dalam daftar menu nya sejak 2017.

Salah satu konsumen yang juga khawatir harga barang akan naik adalah Reny (62). Ia mengaku, jika redenominasi dilakukan akan menyulitkan transaksi di pasar atau toko-toko yang harga jualnya masih memiliki nilai di angka ribuan.

"Kalau yang ganjil-ganjil gimana? ribet itu mah, cari-cari kerjaan. Biasanya kan begitu aja kan, orang di warung-warung aja Rp500, ah digenapin aja lah. Jadi mereka genap-genapin gitu aja nanti," ujar Reny.

Jaya (71), juga mengaku khawatir, apalagi, mata uang rupiah saat ini tak seperti zaman ia waktu kecil, yang masih memiliki nominal sen, seperti Rp 50 perak, atau Rp 2,5 yang juga dulu dikenal sebagai ringgit pada masa nya.

"Ya itu kan bikin ribet doang, kalau Rp 1.500 kan berarti Rp 1,5 kan, ada enggak kayak sen gitu? dulu kan zaman saya SD tahun 60-an ke bawah uang-uang sen ada nilainya, tapi setelah ganti orde nya berubah, enggak ngaruh lagi nilai sen-sen itu," ujar Jaya.

Persoalan ini juga pernah disinggung Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti saat rapat kerja dengan anggota Komite IV DPD RI pertengahan bulan ini. Ia mengaku bahwa BI sudah siap melaksanakan redenominasi, namun harus ada kepastian pengamanan harga di tingkat produsen.

"Yang mestinya tadinya harganya Rp 50.000 mestinya one to one kan jadi Rp 50. Tapi bisa aja kalau dia nakal dia jadikannya enggak Rp 50 tapi Rp 75, tapi kan lebih murah nih dari Rp 50.000 tapi kan ini valuenya jadi beda. Ini yang harus kita kontrol di sini," ucap Destry.

Oleh sebab itu, Destry mengatakan, yang menjadi persoalan untuk merealisasikan redenominasi rupiah adalah pengawasan penetapan harga barang. Ini menurut dia harus menjadi perhatian seluruh pihak, baik aparat penegak hukum hingga kementerian atau lembaga.

"Ini enggak bisa BI kerjakan sendiri. Jadi ini melibatkan aparat segala macam, karena mungkin harus ada pengawasan, dari Kemendag juga dan seterusnya. Jadi ini satu proses yang memang butuh perisapan sangat matang," kata Destry.

Rencana redenemoniasi ini sebetulnya telah termuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah. RUU itu telah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masukkan ke dalam rencana stratgis Kementerian Keuangan 2020-2024. Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pak Jokowi Lapor! Ada Temuan Aneh Minyakita di Pasar, Cek Ini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular