
Jual 'Tanah Air' Pasir Laut, Jokowi Diserang Habis-habisan

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Beleid yang diumumkan 15 Mei 2023 tersebut diterbitkan sebagai upaya terintegrasi yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di laut.
Salah satu yang diatur dalam beleid tersebut adalah memperbolehkan pasir laut diekspor keluar negeri. Hal ini diatur dalam dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
"Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d.
Aturan ini sekaligus mencabut Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003 atau saat pemerintahan dipegang Presiden Megawati Soekarnoputri disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.
Buntut dari dikeluarkan PP Nomor 6 Tahun 2023, Jokowi pun dikritik berbagai kalangan. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti berharap Jokowi membatalkan PP tersebut karena akan merusak ekosistem kelautan.
"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," ungkap Susi dikutip CNBC Indonesia, Selasa (30/5/2023).
Sama dengan Susi, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan khawatir kebijakan ini bisa memberikan dampak negatif bagi ekosistem lingkungan terutama terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil. Salah satunya abrasi air laut yang bisa berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat maupun kerusakan sarana dan prasarana.
![]() Ilustrasi Pasir Laut. (Dok. Freepik) |
"Biaya untuk menanggulangi ini saja tidak mampu oleh daerah dan negara. Dengan regulasi ini maka dapat dipastikan abrasi akan semakin besar dan masif terjadi," ungkapnya dihubungi terpisah.
Pengendalian hasil sedimentasi di laut, lanjutnya, adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.
"Alam pada dasarnya sudah mengatur siklus secara berimbang. Manusialah yang menyebabkan perubahan yang mengarah ke dampak negatif. Justru yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan sedimentasi tersebut, yakni aktifitas dari hulu terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan," tukas Abdi.
Sementara itu, Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menambahkan dengan dibukanya kembali ekspor pasir laut akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang lebih ekstrem lagi.
"Yakni, seperti tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia, sebagai akibat penambangan pasir," timpal Yusri saat dihubungi.
Yusri menyebut, perairan kepulauan Riau kaya akan hasil sedimentasi pasir dan lumpur yang dibawa arus dari segala penjuru, kualitas pasirnya sangat baik dan sangat dibutuhkan oleh Singapura untuk proyek reklamasinya.
"Sehingga, potensi ekonomi pasir laut ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber devisa negara, tetapi dengan aturan yang ketat agar tidak merusak lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan harus dipastikan tingkat pendapat nelayan dan penduduknya," sebutnya.
Menurut Yusri, pengambilan pasir dengan pertimbangan pendalaman alur harus ditetapkan terlebih dahulu dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) zonasi pasir laut, Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan operasi produksi hanya boleh diterbitkan di dalam WIUP tersebut.
"Selain itu, mekanisme bisnisnya dengan pemerintah Singapura harus satu pintu, agar tidak terjadi banting harga yang merugikan penambang kita dan PNBP," ucap Yusri
"Yang lebih penting, wilayah yang dieksploitasi pasir lautnya tidak masuk zona pesisir dan pulau-pulau kecil, sesuai PERDA Kabupaten Kepri Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan tidak boleh melanggar UU nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil," pungkasnya.
(wur/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Tugaskan 3 Menteri Ini Jual 'Tanah Air' Pasir Laut