
Menakutkan! Tsunami PHK Bakal Menerjang Sektor Tambang

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah Indonesia yang akan melarangĀ ekspor mineral mentah seperti bijih bauksit dan konsentrat tembaga pada Juni 2023 ini, berpotensi memunculkan ancaman gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Bagaimana tidak, tatkala kegiatan ekspor ditutup, kegiatan pertambangan tentunya akan mengalami gangguan. Sebagaimana contoh yang akan terdampak atas kebijakan larangan ekspor adalah tambang-tambang besar seperti PT Freeport Indonesia (PTFI) dan juga tambang milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT).
Namun memang, harus disadari bahwa larangan ekspor mineral mentah khususnya bijih bauksit dan konsentrat tembaga itu mengacu pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Di mana disebutkan, perusahaan pertambangan wajib menyelesaikan hilirisasi tiga tahun setelah UU Minerba ini diterbitkan atau Juni 2023.
Tapi nyatanya, para perusahaan-perusahaan tambang misalnya Freeport Indonesia dan Amman Mineral masih dalam proses penyelesaian hilirisasi. Dengan begitu, perusahaan ini menjadi salah satu yang akan terkena keputusan larangan ekspor tersebut.
Nah, pemberlakuan larangan ekspor ini tentunya akan membuat aktifitas pertambangan lumpuh. Imbasnya, kondisi itu akan berdampak pada ribuan karyawan yang menggantungkan hidupnya di sektor ini.
Di Freeport Indonesia sendiri misalnya, berdasarkan data ketenagakerjaan PTFI per Maret 2021, jumlah pekerja di perusahaan ini saja mencapai 27.875 orang.
Angka tersebut terdiri dari para pekerja langsung PTFI dan kontraktor, dengan jumlah pekerja langsung PTFI mencapai 6.329 orang. Adapun dari angka tersebut komposisinya sebanyak 3.576 orang atau 56,5% WNI non Papua dan 2.610 orang atau 41,2% WNI Papua.
Sementara sisanya 143 orang atau 2,3% WNA. Artinya jika dijumlahkan maka karyawan PT Freeport Indonesia yang merupakan WNI sebesar 97,7% terdiri dari warga Papua dan non Papua.
Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Djoko Widajatno optimistis bahwa pemerintah pusat akan memberikan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga bagi PT Freeport Indonesia. Meskipun progres pembangunan smelter hingga Juni 2023 belum selesai.
Pasalnya, penyetopan ekspor mineral mentah selain berdampak pada PHK, juga bakal berdampak cukup signifikan bagi perekonomian daerah. Misalnya seperti di Kabupaten Mimika yang selama ini 99% pendapatan asli daerah (PAD) nya bergantung dari PT Freeport Indonesia (PTFI).
"Kalau sampai Juni (smelter) belum jadi. Masalahnya dia (PTFI) tergantung sama PLN juga, PLN belum buat apa-apa di situ baru tiang pancang, terus untuk gas dan bahan bakar minyak belum kelihatan nah kalau yang membangun itu bisa lebih cepat ya selesai tapi menurut saya untuk bangun 170 mw gak gampang," ujar Djoko kepada CNBC Indonesia, Rabu (5/4/2023).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengungkapkan PTFI berpotensi kehilangan pendapatan US$ 8 miliar atau sekitar Rp 120 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) per tahun bila ekspor konsentrat tembaga disetop. Potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi harga tembaga di angka US$ 4,5 per pon.
"Cukup besar ya (potential loss), hitung saja kalau harganya US$ 4,5 per pon tembaga, itu revenue-nya setahun bisa US$ 8 miliar," ungkapnya saat ditanya potensi kehilangan pendapatan bila ekspor konsentrat tembaga dilarang mulai Juni 2023 mendatang, kepada wartawan di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (03/04/2023).
Menurutnya besarnya potensi kehilangan pendapatan tersebut menjadi salah satu yang dipertimbangkan pemerintah terkait rencana kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah mulai Juni 2023, sesuai amanat Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Ditambah lagi, saat ini progres pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, telah mencapai 60% hingga kuartal I 2023 ini.
Arifin menyebut, Freeport telah mengeluarkan dana hampir US$ 2 miliar untuk pembangunan smelter single line terbesar di dunia dengan kapasitas olahan 1,7 juta konsentrat tembaga per tahun ini.
"Memang kalau izin ekspor itu kan tergantung dari progres pembangunan smelternya. Smelternya sekarang berdasarkan laporan per Q1 2023 itu sudah kurang lebih 60%, jadi mengeluarkan dana hampir 2 miliar dolar, jadi progres cukup bagus," ungkapnya.
Tak hanya itu, mayoritas saham PT Freeport Indonesia kini juga telah dikuasai Indonesia melalui MIND ID, yakni telah mencapai 51%. Bila ekspor dihentikan dan Freeport berpotensi kehilangan pendapatan sebesar itu, artinya Indonesia juga akan terdampak dan kehilangan pendapatan.
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah kini tengah mencermati dampak dari rencana kebijakan larangan ekspor tembaga ini. "Kalau misal dilarang ya loss-nya banyak, karena kita 51% (pemegang saham Freeport) dan kemudian ada lagi pendapatan pendapatan yang berbentuk pajak oleh pemerintah," lanjutnya.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah masih membahas terkait dampak untung rugi dari kebijakan ini, termasuk dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Nah ini kita akan bahas lebih lanjut," ucapnya saat ditanya apakah kemungkinan akan ada relaksasi ekspor konsentrat tembaga untuk Freeport.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Larangan Ekspor Juni 2023, Freeport Terpengaruh?
