Internasional
Xi Jinping Pening Lagi Gegara Babi, Ada Apa China?

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri babi di China kembali dilanda masalah. Ini karena kembali mewabahnya penyakit demam babi Afrika (African Swine Flu/ASF) di negara tersebut.
Hal itu diyakini akan mengurangi produksi babi di akhir tahun 2023 ini. Para manajer peternakan dan analis menyebut fenomena ini dapat mendorong kenaikan harga daging babi mengingat permintaan telah pulih.
Mengutip Caixin Global, infeksi ASF tahun ini mulai melonjak di sekitar liburan Tahun Baru Imlek pada Januari. Ini terjadi ketika jutaan orang bepergian setelah China melonggarkan pembatasan Covid-19.
"Data dari perusahaan penguji virus demam babi menunjukkan bahwa jumlah pendeteksian positif meledak setelah liburan Tahun Baru," kata analis di Huachuang Securities dalam sebuah laporan, dikutip Selasa (28/3/2023).
"Urutan besarnya dalam satu bulan telah mencapai level sepanjang tahun 2022," tambahnya.
Ia pun mengatakan area infeksi babi terdapat di provinsi utara China. Termasuk dua wilayah penghasil babi terbesar Shangdong dan Hehei.
"Kami memperkirakan area infeksi demam babi saat ini di area produksi utara mungkin mencapai 50%," ujarnya lagi.
Meski demikian analis lain percaya wabah tak akan separah 2019. Kala itu jutaan babi dimusnahkan.
"Meskipun tidak seserius pada 2019, penyakit ini dapat mengurangi produksi hingga lebih dari 10%," kata analis Huachuang, Xiao Lin.
Sementara itu, seorang manajer senior di salah satu produsen babi top negara itu juga memperkitakan kenaikan kasus ASF di China.
"Kami memang melihat cukup banyak infeksi baru di bulan Maret. Kami merasa itu belum berakhir, itu masalahnya," katanya, menolak disebutkan namanya karena sensitivitas wabah penyakit di China.
Peternakan China biasanya tidak melaporkan wabah penyakit kepada pemerintah. Sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang akurat tentang tingkat infeksi di negara tersebut.
Perlu diketahui, meski ASF tidak berbahaya bagi manusia, penyakit ini menyebabkan demam hemoragik yang mematikan pada babi peliharaan dan babi hutan. Belum ada obat penawar atau vaksin, satu-satunya metode pengendalian yang diketahui adalah dengan memusnahkan hewan.
Di sisi lain, harga babi Cina telah turun sekitar 15 yuan atau Rp32 ribu per kilo sejak akhir tahun lalu, tertekan oleh lemahnya permintaan dan kelebihan pasokan. Kerugian besar tahun lalu mendorong banyak petani untuk "berhemat ternak" di musim dingin sehingga mendorong volume penyembelihan.
[Gambas:Video CNBC]
Astaga Naga! Babi Bikin Pening Malaysia, Kok Bisa?
(sef/sef)