Pasien IMF 23 Kali, Negara Ini Darurat Bangkrut
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi yang melanda dunia nyatanya juga menghantam negara-negara berkembang berpenghasilan rendah. Bahkan, ada juga negara yang saat ini terkena krisis meski beberapa kali telah menjadi 'pasien' dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Salah satu negara tersebut yakni Pakistan. Sejak merdeka pada 1947 lalu, Negeri Bulan Sabit ini telah mengambil pinjaman dari IMF sebanyak 23 kali.
"Faktanya, kami adalah nasabah IMF yang paling loyal," ujar mantan Deputi Gubernur Bank Negara Pakistan, Murtaza Syed, kepada Economic Times, dikutip Senin (27/2/2023).
"Sebaliknya, kembaran kami, India, hanya tujuh kali ke IMF dan tidak pernah sejak reformasi penting Manmohan Rao tahun 1991," ujarnya.
Meski telah meminjam beberapa kali, perekonomian Pakistan pun belum dapat berjalan secara optimal. Sejak tahun 2022 hingga saat ini, inflasi sedang melanda, nilai rupee merosot tajam, dan cadangan devisa turun sehingga meningkatkan kemungkinan gagal bayar.
Krisis ekonomi muncul setiap beberapa tahun di Pakistan, yang disebabkan oleh ekonomi yang tidak menghasilkan cukup dan menghabiskan terlalu banyak, sehingga bergantung pada utang luar negeri. Setiap krisis berturut-turut menjadi lebih buruk karena tagihan hutang semakin besar dan pembayaran jatuh tempo.
Selain itu, ketidakstabilan politik internal dan bencana banjir memperburuk krisis kali ini. Ada juga elemen eksternal yang signifikan dalam krisis, dengan kenaikan harga pangan dan bahan bakar global setelah perang Rusia di Ukraina.
"Kombinasi dari semua faktor ini mungkin merupakan tantangan ekonomi terbesar yang pernah dialami Pakistan," kata ekonom Madiha Afzal menulis untuk Brookings.
Dalam mengatasi krisis ini, pada November 2022 lalu, Islamabad kembali meminta bantuan dana dari organisasi keuangan yang dianggap sebagai last resort itu. Terutama tekanan krisis ekonomi yang didorong kurangnya devisa dan inflasi yang meninggi.
Namun, baru-baru ini, IMF disebut enggan mencairkan dana kepada Pakistan secara mudah. Sebab, pejabat IMF ingin melihat pemerintah Pakistan menerapkan reformasi fiskal, termasuk mengizinkan nilai tukar yang ditentukan pasar untuk mata uang negara, rupee, dan pengurangan subsidi bahan bakar yang menjadi lebih mahal di tengah kenaikan harga energi global.
"Pakistan memiliki cadangan devisa kurang dari US$ 3 miliar hari ini. Cadangan kami tidak pernah melebihi US$ 21 miliar dalam sejarah kami. Bangladesh memiliki sekitar US$ 35 miliar, India memiliki sekitar US$ 600 miliar, dan China memiliki sekitar US$ 4 triliun," tambah Syed.
"Sejak awal 1990-an, Pakistan telah memiliki 11 program IMF. Bangladesh punya tiga. India dan China tidak punya," ujarnya.
Dengan adanya hal ini, kepala ekonom global di Renaissance Capital, Charles Robertson, mengatakan bahwa beban pembayaran utang Pakistan menempatkannya dalam kategori yang sama dengan beberapa negara berkembang yang telah gagal bayar, seperti Sri Lanka. Diketahui, Pakistan memiliki utang sebesar US$ 73 miliar yang jatuh tempo pada 2025.
"Pakistan akan berjuang untuk melewati tahun ini. Tampaknya gagal bayar akan tetapi itu tidak terjadi. Pakistan masih dapat mengambil tindakan untuk menyelesaikan situasi," ujarnya.
(sef/sef)