Internasional
Negara Ini Calon Sri Lanka Kedua, Sejengkal dari Kebangkrutan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemadaman listrik, penurunan mata uang, dan korupsi yang terjadi membuat Pakistan berada di ambang kebangkrutan. Saat ini, perekonomian Pakistan sudah di ujung tebing.
Pekan lalu, salah satu masjid di Pakistan mengalami serangan bom yang setidaknya menewaskan 100 orang. Tidak hanya itu, 24 Januari lalu Pakistan melakukan pemadaman listrik nasional. Selain itu, menurut laporan CNBC International, saat ini Rupee Pakistan berada pada rekor titik terendah terhadap dolar.
Selain serangan bom, pemadaman listrik nasional, dan rekor Rupee Pakistan terendah, korupsi oleh pemerintah setempat, cadangan devisa yang menipis, dan utang yang melumpuh juga sukses membuat ekonomi Pakistan terombang-ambing.
Salah satu masyarakat Pakistan, Mohammed Usman mengatakan bahwa seluruh harga keperluan sehari-hari di negaranya melonjak tinggi, seperti tepung yang harganya naik lebih dari dua kali lipat dan bahan bakar yang juga naik dua kali lipat dalam waktu kurang dari setahun.
"Perbincangan dengan masyarakat Pakistan akhir-akhir ini hanyalah tentang bagaimana segala sesuatu jadi lebih mahal," sebut Usman kepada CNBC, dikutip Sabtu (4/2/2023).
"Ditambah ketidakstabilan politik dan seseorang berakhir dalam situasi tanpa harapan," lanjutnya.
Menurut laporan CNBC, pada Selasa (31/1/2023) waktu setempat, salah satu pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) tiba di Pakistan untuk melakukan perbincangan terkait pencairan dana darurat yang dibutuhkan Pakistan dari paket bailout sebesar US$7 miliar atau sekitar Rp105,6 triliun (asumsi kurs Rp15.095/US$).
Saat ini, Pakistan hanya memiliki cadangan mata uang asing yang cukup untuk membayar impor sekitar tiga minggu.
Sebelumnya, pada 2019 Pakistan sempat menerima dana talangan dari IMF sebesar US$6 miliar atau sekitar Rp90,5 triliun dan US$1 miliar atau sekitar Rp15 triliun lagi pada Agustus 2022. Dana tersebut dicairkan dalam program pendanaan ke-23 IMF untuk Pakistan.
CNBC melaporkan, saat ini IMF disebut ogah mencairkan dana kepada Pakistan dengan mudah. Sebab, pejabat IMF ingin melihat pemerintah Pakistan menerapkan reformasi fiskal, termasuk mengizinkan nilai tukar yang ditentukan pasar untuk mata uang negara, rupee, dan pengurangan subsidi bahan bakar yang menjadi lebih mahal di tengah kenaikan harga energi global.
Namun, Perdana Menteri Pakistan, Shehbaz Sharif menolak untuk melakukan perubahan tersebut selama berbulan-bulan karena takut risiko reaksi yang akan terjadi.
Pada akhir Januari 2023, prospek kebangkrutan nasional akhirnya memaksa pemerintah Pakistan untuk mencabut batasan buatan pada mata uangnya sehingga Rupee Pakistan anjlok 20% terhadap dolar dalam beberapa hari, menaikkan harga BBM sebesar 16%, dan bank sentral Pakistan menaikkan suku bunganya sebesar 100 basis poin untuk melawan inflasi tertinggi di negaranya dalam beberapa dekade. Diperkirakan mencapai 26% pada bulan Januari.
Menurut sejumlah ahli, krisis yang terjadi di Pakistan sebetulnya sudah lama terjadi dan jauh melampaui politik elektoral.
"Situasi ekonomi Pakistan adalah cerminan langsung dari prioritas negara yang salah tempat selama beberapa dekade," kata seorang peneliti di Institut Studi Perdamaian dan Konflik di New Delhi, Kamal Madishetty. Madishetty menunjuk pada kontrol militer yang luar biasa atas semua institusi lain sebagai faktor kunci.
Madishetty menjelaskan, pada 2022 alias saat Pakistan memangkas pengeluaran untuk bidang-bidang, seperti infrastruktur dan pendidikan, pengeluaran untuk militer malah naik sebesar 11%.
"Pembentukan militer negara terus menyudutkan bagian sumber daya yang tidak proporsional untuk dirinya sendiri dengan mengorbankan warga biasa," kata Madishetty.
Senior Non-Residen di Atlantic Council, Kamal Alam menggambarkan bahwa penguasa yang disfungsional yang selama beberapa dekade telah menyalahgunakan dana dan mencegah reformasi yang berarti.
"Pakistan yang terperosok dalam korupsi politik, militer, dan feodal kini jadi negara yang hanya bertahan karena kemurahan hati Saudi, China, UEA, dan AS," kata Alam.
"Akhirnya, para donatur juga kehabisan kesabaran karena tidak adanya transparansi dampak dari donasi yang mereka berikan," lanjutnya.
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, pada Juni 2022 lalu juga Pakistan menjadi korban perubahan iklim. Bencana banjir yang terjadi pada pertengahan 2022 itu membuat sepertiga Pakistan tenggelam dan membuat 33 juta orang masuk ke dalam daftar korban. Selain itu, terdapat pula kerusakan dan kerugian ekonomi miliaran dolar akibat bencana tersebut.
Bencana itu juga 'terkombinasi' dengan masalah ekonomi yang sudah ada dan dampak Covid-19 yang berkepanjangan. Pada awal Januari, Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan negara dari 4 persen Juni lalu menjadi 2 persen untuk 2023.
"Situasi ekonomi yang genting, cadangan devisa yang rendah dan defisit neraca berjalan, dan fiskal yang besar menjadi alasan utama," sebut Bank Dunia.
Menurut catatan IMF, lebih dari 30% total utang luar negeri Pakistan berasal dari China. Madishetty menyebutkan, angka tersebut tiga kali lipat utang Pakistan kepada IMF dan lebih dari gabungan pinjamannya dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
"Pinjaman dari China disertai dengan persyaratan yang tidak jelas, mengabaikan kelayakan proyek jangka panjang, mengabaikan biaya lingkungan dan sosial, dan memiliki suku bunga yang biasanya 1-2 persen lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh pemberi pinjaman OECD," sebut Madishetty.
Terlepas dari kondisi dan situasi keuangannya saat ini, Pakistan terus meminjam dari China.
"Baru-baru ini, mereka mencari pinjaman US$10 miliar (atau sekitar Rp150 triliun) dari China untuk proyek kereta api besar dan mengabaikan masalah utang. Keputusan seperti itu pasti mendorong negara menuju gagal bayar utangnya lebih cepat daripada nanti," papar Madishetty.
[Gambas:Video CNBC]
Negara Asia Ini di Ambang Kebangkrutan, IMF Turun Tangan
(dce)