Internasional

Negara Muslim Ini Bangkrut, Inflasi Meroket-Utang Menggunung

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
30 May 2024 15:32
Aktivis dari berbagai organisasi buruh dengan pita merah di lengan mereka, membawa plakat dan tanda yang menggambarkan Che Guevara, ketika mereka mengambil bagian dalam unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja, pada Hari Buruh Internasional atau May Day, di Karachi, Pakistan 1 Mei 2023. (REUTERS/Akhtar Soomro)
Foto: Aktivis dari berbagai organisasi buruh dengan pita merah di lengan mereka, membawa plakat dan tanda yang menggambarkan Che Guevara, ketika mereka mengambil bagian dalam unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja, pada Hari Buruh Internasional atau May Day, di Karachi, Pakistan 1 Mei 2023. (REUTERS/AKHTAR SOOMRO)
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Badai ekonomi terus melanda Pakistan. Ini ditandai dengan utang luar negeri yang membengkak, defisit pembelanjaan yang lebar, inflasi yang begitu tinggi, yang juga didukung oleh kondisi dalam negeri yang tidak stabil.

Dalam perkembangan terbaru, Islamabad berupaya untuk mendapatkan pinjaman lagi sebesar US$ 9 miliar (Rp 146 triliun) dari Dana Moneter Internasional (IMF). Ini merupakan kesekian kalinya Negeri Ali Jinnah itu menjadi pasien dari IMF.

Langkah ini diambil setelah Pakistan gagal mencapai target cadangan devisa neto (NIR) meski telah menerapkan beberapa langkah dalam negeri seperti kenaikan harga energi dan, nilai tukar rupee berbasis pasar, dan peningkatan pendapatan melalui pajak tidak langsung. Kegagalan ini disebabkan bergantungnya Pakistan pada rollover atau jaminan dari kreditor bilateral, khususnya dari China dan Arab Saudi.

"Jika rollover dari China dan Arab Saudi tidak tercapai, Pakistan mungkin perlu meminta pengecualian dari dewan IMF terkait target NIR. Namun hal ini hanyalah salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah," lapor media Pakistan Sanaa TV, dikutip Kamis (30/5/2024).

Mengutip data dari media Pakistan lainnya, Dawn, utang negara itu hingga saat ini telah mencapai 78,9 triliun rupee atau sekitar Rp 4.853 triliun. Ini terdiri dari utang dalam negeri sebesar 43,4 triliun rupee dan pinjaman luar negeri sebesar 32,9 triliun rupee.

Kondisi ini telah membuat berada dalam perangkap utang karena harus meminjam lebih banyak untuk membayar kembali utang yang ada. Untuk utang luar negeri, data dari lembaga riset GIS menyebut Islamabad harus membayar hingga US$ 78 miliar atau Rp 1.267 triliun hingga 2026.

Di sisi lain, pembayaran juga semakin sulit dengan suku bunga dalam negeri yang masih mencapai 22%.

"Karena pemerintah menutupi hampir 80% defisit fiskalnya melalui pinjaman bank komersial di tengah berkurangnya aliran dana asing, tingkat suku bunga menjadi perhatian utama karena pembayaran utang dalam negeri menyumbang hampir 90% dari total biaya pembayaran utang selama paruh pertama tahun fiskal," tulis Kementerian Keuangan Pakistan dalam Laporan Tinjauan Anggaran Tengah Tahun.

"Pengeluaran untuk pembayaran utang selama periode enam bulan hingga Desember jauh melampaui pertumbuhan penerimaan pajak, sehingga belanja untuk pembangunan menjadi nihil."

Inflasi Tinggi

Sejatinya, suku bunga tinggi ini sendiri diterapkan sebenarnya untuk mengendalikan inflasi, yang mencapai 17,3% pada bulan April lalu secara year-on-year. Namun hingga saat ini, kenaikan harga barang belum benar-benar dapat dikendalikan, sebagai dampak dari sejumlah subsidi yang dicabut karena beban anggaran yang tinggi.

IMF sendiri dalam catatannya telah menganjurkan Pakistan untuk memberlakukan subsidi yang ditargetkan dibandingkan subsidi umum. Ini disebabkan subsidi umum dapat menyebabkan defisit fiskal dan transaksi berjalan serta memberikan manfaat yang tidak proporsional kepada konsumen besar.

"Misalnya saja, subsidi BBM secara umum terutama menguntungkan pemilik kendaraan besar, yang mengkonsumsi lebih banyak BBM per kilometer dibandingkan sepeda motor dan becak," tambah Siddique dari Sanaa TV.

"Pendekatan yang lebih adil adalah dengan memberikan bantuan tunai langsung kepada pemilik kendaraan roda dua dan tiga, yang seringkali merupakan masyarakat berpenghasilan rendah."

Bencana Alam

Tantangan ekonomi yang dihadapi Pakistan juga datang dari ranah lingkungan. Negara berpenduduk 235,8 juta ini dikenal seringkali mendapatkan bencana alam skala besar yang merusak seperti banjir dan gelombang panas.

Di 2022 Pakistan dilanda banjir bandang besar yang berdampak pada 33 juta warga di negara itu. Hujan lebat disertai cuaca panas yang menghasilkan luapan dan aliran air yang deras dari gletser yang mencair, menewaskan hingga 1.729 orang dan menimbulkan kerugian hingga US$ 30 miliar dolar atau setara Rp 1.742 triliun.

Dalam beberapa hari terakhir ini, Pakistan juga dilanda gelombang panas. Tercatat, suhu mencapai puncaknya pada 53 derajat Celcius pada hari Minggu di Mohenjo Daro di pedesaan Provinsi Sindh.

Kantor meteorologi Pakistan memperkirakan kenaikan suhu akan mereda mulai Rabu. Namun lembaga itu memperingatkan gelombang panas lebih lanjut akan terjadi pada bulan Juni.

Siddique dari Sanaa TV. menyebutkan bahwa ilmuwan iklim telah membuktikan bahwa emisi karbon yang berlebihan dari negara-negara maju telah memberikan kontribusi signifikan terhadap dampak iklim yang parah di negara-negara berkembang seperti Pakistan. Menurutnya, perlu ada bantuan khusus bagi Pakistan dalam menanggulangi persoalan ini.

"Mencapai stabilitas ekonomi dan keadilan iklim bagi Pakistan melibatkan upaya nasional dan advokasi internasional," tambahnya.

Stabilitas Politik

Selain situasi ekonomi dan lingkungan, Pakistan juga terus mendapatkan tekanan dari politik dalam negerinya. Ini dimulai saat mantan Perdana Menteri (PM) Imran Khan digulingkan.

Penggulingannya pun memicu negara itu untuk menggelar pemilu pada 8 Februari lalu. Pemilu itu dimenangkan oleh koalisi yang dibentuk Liga Muslim Pakistan (PML) dan Partai Rakyat Pakistan (PPP), di mana koalisi itu menunjuk Shebaz Sharif sebagai PM.

Khan sendiri menolak hasil pemilu dan menyebutnya curang. Ia menuduh militer dan Amerika Serikat (AS) terlibat dalam pemenangan Shebaz yang menurutnya tidak dapat diterima itu.

"Teori konspirasi Khan telah mempolarisasi Pakistan, mendorong pendukungnya untuk menyerang militer dengan cara yang dihindari oleh politisi arus utama. Setelah pemilu, para pendukung Khan menimbulkan banyak keributan politik namun gagal menciptakan gangguan besar-besaran atau mengobarkan revolusi," tulis GIS dalam laporannya.

 


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Pakistan Memanas, Warga Demo Penundaan Hasil Pemilu

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular