Juragan Sawit Buka Suara Soal RI Serang Balik UE di WTO
Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha kelapa sawit buka suara soal rencana serangan balik RI melawan Uni Eropa (UE) di WTO. Di mana, menurut Deputi bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto, RI memasukkan 2 gugatan terkait sawit atas UE di WTO.
Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengaku belum mengetahui pasti gugatan yang dimaksud pemerintah.
Hanya saja, ada dugaan gugatan tersebut menyasar Undang-Undang (UU) Anti-Deforestasi yang baru saya disetujui oleh Komisi UE.
GAPKI sendiri, menurut Eddy, belum diajak berkomunikasi oleh pemerintah terkait gugatan sawit melawan UE di WTO.
Di mana, jika UU ini nanti berlaku sah, sejumlah produk pertanian dan perkebunan bakal dilarang masuk ke UE jika terbukti memicu deforestasi. Ada 6 komoditas berbasis lahan yang terancam dilarang masuk Uni Eropa (UE), yaitu kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa turunan minyak sawit.
"Saya belum jelas yang mana yang akan digugat apakah masalah UU Deforestasi?," kata Eddy kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (24/2/2023).
Hanya saja, lanjut dia, masih terlalu awal jika Indonesia mengajukan gugatan atas UU itu sekarang.
GAPKI, ujarnya, juga belum mengajukan kepada pemerintah agar memprotes UU Anti-Deforestasi UE.
"Kalau masalah itu (UU Anti-Deforestasi UE) kan masih terus komunikasi dengan pihak UE. Dan UU juga belum berlaku, waktunya 18 bulan untuk susun kriteria apa yang dilarang," jelas Eddy.
"Masih terus komunikasi, termasuk dengan pemerintah," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, gugatan RI atas UE ke WTO terkait sawit yang sedang berlangsung adalah Renewable Energy Directive II (RED II) Indirect Land Use Change (ILUC).
"Yang menuduh sawit high risk ILUC secara diskriminatif," kata Tungkot.
"Setahu saya rencana gugatan berikutnya setelah pertemuan dengan Malasya adalah gugatan deforestation-free (anti-deforestasi) yang juga dinilai diskriminatif. Sebab rapeseed dan sunflower juga terkait deforestasi tapi tidak ikut dikategorikan high deforestation risk oleh UE," jelasnya menambahkan.
Namun, senada dengan Eddy, Tungkot mengatakan gugatan atas UU Anti-Deforestasi UE masih perlu dipelajari.
"Termasuk mempelajari reaksi Malaysia. Sebab Malaysia suka menelikung. Disepakati menggugat bersama (kasus RED II ILUC), ketika Indonesia gugat ke WTO, eh Malaysia malah tarik gugatannya," pungkas Tungkot.
(dce/dce)