RI Mau Jadi Raja EV, Negara Tetangga Ikut Kecipratan Cuannya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia semakin serius memantapkan niatnya untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV) dunia. Hal tersebut menyusul melimpahnya cadangan nikel yang dimiliki Indonesia sebagai bahan baku baterai.
Meski begitu, cita-cita tersebut tampaknya belum bisa berjalan mulus, mengingat salah satu komoditas mineral untuk mendukung pembuatan baterai EV yaitu lithium tak ada di dalam negeri. Oleh sebab itu, Indonesia berencana melakukan impor lithium dari negara tetangga yakni Australia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bahkan sudah berdiskusi dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese untuk menjajaki potensi impor lithium dari Negeri Kanguru tersebut.
Luhut mengatakan, Indonesia saat ini memang tengah berfokus untuk menggenjot hilirisasi di dalam negeri. Salah satunya, melalui pengembangan industri baterai sebagai sumber energi kendaraan listrik.
"Untuk memenuhi target kami menjadi produsen baterai lithium terbesar di dunia, kami berharap dapat meningkatkan impor lithium dari Australia," ungkap Luhut, seperti dikutip dari akun Instagramnya @luhut.pandjaitan, Selasa (14/02/2023).
Senada dengan Luhut, Deputi Kerjasama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan menilai Indonesia berpotensi bekerja sama dengan Australia terkait pengadaan salah satu bahan baku baterai EV yakni lithium. Apalagi negara tersebut tidak mempunyai kebijakan hilirisasi di dalam negeri.
"Sehingga kemarin kita (Indonesia) bertemu dengan pemerintah Australia Barat mereka ingin kerja sama dengan Indonesia menjadi suplai baterai EV, sehingga ini potensi terbuka," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam program 'Mining Zone'.
Di samping itu, menurut Nurul komponen lithium yang diperlukan untuk proses pembuatan baterai kendaraan listrik sebetulnya tidak sebanyak nikel. Adapun rantai pasok dari bijih nikel sampai menjadi baterai memerlukan proses pengolahan yang cukup panjang.
"Jadi begini, kalau kita bicara dari sisi ini (baterai EV), maka komponen yang paling besar yang digunakan untuk baterai lithium itu nikel, untuk dia bisa menjadi katoda, untuk dibuat di sana. Yang paling penting sebenarnya adalah komitmen pemerintah apakah kita mau menjadi bagian supply chain dunia," tegasnya.
Nurul menyebut, untuk membuat baterai kendaraan listrik, maka diperlukan sejumlah komoditas, tidak hanya nikel, tapi juga lithium, mangan, dan kobalt.
Dia menjelaskan bahwa baterai EV memiliki kadar kandungan mineral yang berbeda-beda, tergantung jenisnya. Ada beragam baterai EV yang beredar, seperti baterai EV LCO, NMC111, NMC622, dan NMC811.
Dia menjelaskan lebih lanjut, bahwa angka yang terdapat pada setiap jenis baterai EV itu menunjukkan seberapa banyak kandungan bahan mineralnya. Misalkan, NMC111 artinya pada jenis baterai tersebut mengandung kandungan Nikel 1 bagian, Mangan 1 bagian, dan cobalt atau kobalt sebanyak 1 bagian.
Indonesia sendiri memiliki kandungan pembuat baterai EV yang telah disebutkan sebelumnya. Namun memang, dia mengakui, salah satu bahan yang masih belum tersedia di Indonesia adalah lithium. Nurul mengatakan, peran lithium untuk pembuatan baterai cukup penting.
Namun, bila dibandingkan dengan komposisi nikel, Nurul mengatakan bahwa peran nikel memang lebih penting dalam pembuatan baterai EV. Perlu diketahui, Indonesia memiliki 40% cadangan nikel dari total seluruh cadangan nikel dunia.
"Kalau lithium penggunaannya tidak terlalu besar, tetapi memang dia signifikan harus ada lithiumnya. Karena biasanya lithium itu hanya 1 bagian tidak seperti nikel yang bisa 6 sampai 8 bagian," jelasnya.
(wia)