RI Mau Jadi Raja EV, Negara Tetangga Ikut Kecipratan Cuannya

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
16 February 2023 09:45
Pengunjung melihat mobil listrik Hyundai Ioniq yang dipamerkan dalam ajang pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2021 di ICE, BSD City, Tangerang Selatan, Senin (15/11/2021). Hyundai Ioniq meluncur berbarengan dengan Hyundai Kona medio November 2020 lalu. Dari segi eksterior, Hyundai Ioniq Electric ini sudah terpancar aura futuristik, berkat grill tanpa lubang, dengan lampu khas unik yang berasal dari lampu depan LED ke Day Running Light (DRL). Dari sisi interior, IONIQ menampilkan kesan modern dengan kursi berbalut kulit. IONIQ juga memiliki dua layar LCD yang menampilkan berbagai informasi untuk pengemudi. Cluster Supervision dengan layar LCD TFT 7" memberikan informasi penting dari kendaraan pada posisi yang mudah terlihat oleh pengemudi. Powertrain dari Hyundai Ioniq menggunakan motor listrik bermagnet permanen dan berefisiensi tinggi sebesar 100 kW (136 PS) yang dipasok oleh baterai lithium ion 38,3 kWh. Motor mengembangkan torsi 295 Nm yang didistribusikan ke roda depan, dan ber akselerasi 0-100 m dalam 9,9 detik. Jarak tempuh Hyundai Ioniq mencapai 373 km (berdasarkan NEDC) dan 311 km (berdasarkan WLTP) dalam sekali pengisian daya. Pengisian daya penuh dapat dicapai dalam 54 menit untuk pengisian nol hingga 80 persen dengan menggunakan stasiun pengisian kendaraan listrik berkapasitas 100 kW (DC). Lebih lanjut Hyundai Ioniq ini juga bisa dicharging di rumah (standar) dari titik nol hingga 100 persen memakan waktu 17 jam 30 menit, AC Charging 6 jam 5 menit. Dalam ajang GIIAS mobil ini dibanderol seharga Rp 677 juta OTR Jakarta. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: CNBC Indonesia/Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia semakin serius memantapkan niatnya untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle/ EV) dunia. Hal tersebut menyusul melimpahnya cadangan nikel yang dimiliki Indonesia sebagai bahan baku baterai.

Meski begitu, cita-cita tersebut tampaknya belum bisa berjalan mulus, mengingat salah satu komoditas mineral untuk mendukung pembuatan baterai EV yaitu lithium tak ada di dalam negeri. Oleh sebab itu, Indonesia berencana melakukan impor lithium dari negara tetangga yakni Australia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bahkan sudah berdiskusi dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese untuk menjajaki potensi impor lithium dari Negeri Kanguru tersebut.

Luhut mengatakan, Indonesia saat ini memang tengah berfokus untuk menggenjot hilirisasi di dalam negeri. Salah satunya, melalui pengembangan industri baterai sebagai sumber energi kendaraan listrik.

"Untuk memenuhi target kami menjadi produsen baterai lithium terbesar di dunia, kami berharap dapat meningkatkan impor lithium dari Australia," ungkap Luhut, seperti dikutip dari akun Instagramnya @luhut.pandjaitan, Selasa (14/02/2023).

Senada dengan Luhut, Deputi Kerjasama Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan menilai Indonesia berpotensi bekerja sama dengan Australia terkait pengadaan salah satu bahan baku baterai EV yakni lithium. Apalagi negara tersebut tidak mempunyai kebijakan hilirisasi di dalam negeri.

"Sehingga kemarin kita (Indonesia) bertemu dengan pemerintah Australia Barat mereka ingin kerja sama dengan Indonesia menjadi suplai baterai EV, sehingga ini potensi terbuka," ungkapnya kepada CNBC Indonesia dalam program 'Mining Zone'.

Di samping itu, menurut Nurul komponen lithium yang diperlukan untuk proses pembuatan baterai kendaraan listrik sebetulnya tidak sebanyak nikel. Adapun rantai pasok dari bijih nikel sampai menjadi baterai memerlukan proses pengolahan yang cukup panjang.

"Jadi begini, kalau kita bicara dari sisi ini (baterai EV), maka komponen yang paling besar yang digunakan untuk baterai lithium itu nikel, untuk dia bisa menjadi katoda, untuk dibuat di sana. Yang paling penting sebenarnya adalah komitmen pemerintah apakah kita mau menjadi bagian supply chain dunia," tegasnya.

Nurul menyebut, untuk membuat baterai kendaraan listrik, maka diperlukan sejumlah komoditas, tidak hanya nikel, tapi juga lithium, mangan, dan kobalt.

Dia menjelaskan bahwa baterai EV memiliki kadar kandungan mineral yang berbeda-beda, tergantung jenisnya. Ada beragam baterai EV yang beredar, seperti baterai EV LCO, NMC111, NMC622, dan NMC811.

Dia menjelaskan lebih lanjut, bahwa angka yang terdapat pada setiap jenis baterai EV itu menunjukkan seberapa banyak kandungan bahan mineralnya. Misalkan, NMC111 artinya pada jenis baterai tersebut mengandung kandungan Nikel 1 bagian, Mangan 1 bagian, dan cobalt atau kobalt sebanyak 1 bagian.

Indonesia sendiri memiliki kandungan pembuat baterai EV yang telah disebutkan sebelumnya. Namun memang, dia mengakui, salah satu bahan yang masih belum tersedia di Indonesia adalah lithium. Nurul mengatakan, peran lithium untuk pembuatan baterai cukup penting.

Namun, bila dibandingkan dengan komposisi nikel, Nurul mengatakan bahwa peran nikel memang lebih penting dalam pembuatan baterai EV. Perlu diketahui, Indonesia memiliki 40% cadangan nikel dari total seluruh cadangan nikel dunia.

"Kalau lithium penggunaannya tidak terlalu besar, tetapi memang dia signifikan harus ada lithiumnya. Karena biasanya lithium itu hanya 1 bagian tidak seperti nikel yang bisa 6 sampai 8 bagian," jelasnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Demi Jadi Raja Baterai, Luhut: RI Impor Lithium Australia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular