Wahai Jemaah! Ini Cerita Lengkap Usulan Kenaikan Biaya Haji
Jakarta, CNBC Indonesia - Kehebohan kenaikan biaya haji ternyata bermula dari usulan Kementerian Agama (Kemenag). Usulan tersebut disampaikan oleh Menteri Agama pada saat Rapat Kerja Komisi VIII dengan Kemenag, Kamis (19/1/2023).
Kemenag mengusulkan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2023 mencapai Rp 98,89 juta. Dengan jumlah tersebut, Kemenag mengusulkan skema pembiayaan dengan proporsi 70% biaya yang ditanggung jamaah haji (Bipih) sebesar Rp 69,20 juta dan 30% sisanya berupa nilai manfaat sebesar Rp 29,7 juta.
Dengan begitu, jumlah Bipih tersebut melonjak nyaris dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 39,8 juta.
Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang membidangi urusan agama, Hidayat Nur Wahid, menilai bahwa kenaikan tersebut memberatkan bagi jamaah. Dia membenarkan bahwa ibadah Haji hanya diwajibkan bagi yang mampu, dan memang ada kondisi pembiayaan penyelenggaraan Haji yang menyebabkan biaya haji ditanggung setiap jamaah perlu disesuaikan.
"Namun penyesuaian tersebut harus berlandaskan perencanaan yang matang, asumsi-asumsi yang riil, dan maksimalisasi lobi dan koordinasi Kemenag dengan pihak Saudi juga dengan BPKH dan Komisi VIII DPR-RI, sehingga pembiayaan Haji tetap mampu dijangkau para calon jemaah Haji. Itulah juga sebagian aspirasi dari calon jemaah haji yang menolak keberatan dengan kenaikan biaya haji yang diusulkan Menag," kata Hidayat dikutip Selasa (14/2/2023).
Oleh karena itu, dia menilai maksimalisasi usaha untuk mendapatkan harga proporsional terkait penyelenggaraan haji, ternyata juga bisa sukses dilakukan, seperti biaya masya'ir yang tahun lalu dinaikkan oleh pihak Saudi menjadi konversi Rp 22 juta, tahun ini bisa turun ke angka normal Rp 5,5 juta. Ini contoh keberhasilan lobi kemenag untuk mengurangi pembiayaan berhaji, yang mestinya terus dilakukan untuk komponen-komponen memberatkan lainnya, menurut Hidayat.
Ditambah ada informasi dari pihak Saudi bahwa biaya penyelenggaraan Haji tahun 2023/1444H turun 30% dibanding tahun yang lalu.
"Bila benar demikian, tentu Kemenag akan lebih mampu hadirkan usulan biaya haji yang tidak membuat resah masyarakat, dan tetap memungkinkan jemaah berkemampuan laksanakan rukun Islam ke 5, naik haji," lanjutnya.
Pada paparannya di DPR, Menteri Agama RI menyampaikan biaya pelaksanaan haji 2023 sebesar Rp 98,3 juta. Dari angka tersebut, Rp 69,1 juta akan ditanggung oleh Jamaah Haji.
Hidayat menegaskan, angka yang disampaikan Menag tidak berlandaskan perencanaan yang sesuai dengan perkembangan dan peluang yang ada, sehingga perlu dikritisi dan dikoreksi.
Misalnya soal komponen nilai manfaat yang akan diterima Jamaah, Menag menyebutkan angkanya hanya Rp 5,9 triliun. Padahal RKAT Keuangan Haji 2023 yang disampaikan Desember 2022 menetapkan Rp 8,1 triliun, dan update Januari 2023 masih di level Rp 7,1 triliun.
"Kemenag menurunkan alokasi nilai manfaat tanpa landasan yang jelas, sehingga seolah-olah biaya haji yang ditanggung oleh jamaah harus meningkat sangat signifikan, bahkan dalam usulan Menag naik hampir 2 kali lipat dari yang sebelumnya. Ini tentu patut dikoreksi," katanya.
Hidayat menerangkan, sebagian besar jamaah haji sudah menyetorkan ke bank yang ditunjuk Kemenag, uang pendaftaran sebesar Rp 25 juta, lebih dari 20 tahun. Dan mereka berada pada posisi daftar tunggu di atas 20 tahunan juga.
Jika per tahun nilai manfaat rata-ratanya hanya di angka 6% saja, maka hak mereka setelah 20 tahun menyetor ke bank adalah sekitar Rp 80,1 juta. Padahal sebagian besar daftar tunggu calon jemaah haji sudah lebih dari 20 tahun, maka wajarnya hak manfaat yang bisa mereka dapat dari dana haji bisa lebih tinggi lagi.
Kemudian, apabila sebagian nilai manfaat tersebut diklaim sudah tersalurkan kepada calon jamaah dalam bentuk rekening virtual, misalkan sebesar Rp 5 juta, maka hak mereka berkurang menjadi Rp 75 juta dan hanya perlu melakukan pelunasan sekitar Rp 23 juta per orang, yang artinya mereka tidak perlu dibebani dengan istilah "subsidi" dari pemerintah, karena semuanya adalah bersumber dari uang setoran calon jemaah haji sendiri yang diamanahkan dikelola oleh BPKH.
Alhasil, dia menilai mestinya BPKH juga didorong untuk lebih berhasil di dalam mengelola amanat keuangan haji sehingga bisa memberikan nilai manfaat yang lebih besar bagi calon Haji.
"Agar kalaupun pada akhirnya tetap terjadi kenaikan biaya pelunasan, namun angka yang ditetapkan harus tetap rasional, tidak melonjak tajam, serta berlandaskan hak riil jamaah yang telah menitipkan uang mereka untuk dikelola oleh BPKH, puluhan tahun lamanya," paparnya.
Dia menilai, biaya haji yang ditaksir Rp 98 juta per jamaah juga masih berpotensi dikoreksi. Misalnya, biaya penerbangan yang disebut Menag adalah Rp 33,9 juta, itu sangat tidak realistis.
Hasil pencarian harga tiket PP Jakarta-Jeddah untuk musim haji 2023 (Juni-Juli) berada di kisaran Rp 17-20 Juta, itu harga perorangan, apalagi Pemerintah menerbangkan 221 ribu jamaah, sehingga layak memperoleh harga yang lebih murah.
Di saat yang sama ada tren penurunan harga minyak global yang terus terjadi. Dia mencontoh harga avtur yang dirilis Pertamina untuk bandara Soekarno-Hatta, selama 4 bulan terakhir telah turun dari 95,6 sen/liter di bulan September 2022 menjadi 88,2 sen/liter di akhir Januari 2023. Ini juga berpotensi mengurangi komponen harga penerbangan.
Selain itu, pejabat Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menyampaikan bahwa secara umum harga akomodasi haji tahun ini 30% lebih murah dari tahun lalu. Hal ini lantaran kuota haji sudah kembali ke level sebelum pandemi sehingga skala ekonominya semakin baik.
Hidayat juga menjelaskan ada beberapa strategi yang layak dikerjakan lagj untuk menekan biaya haji, baik strategi konvensional seperti melakukan kontrak akomodasi-transportasi secepat mungkin agar bisa mendapatkan harga yang lebih rendah, maupun strategi inovatif seperti memangkas masa tinggal jamaah haji Indonesia di Saudi dari 40 hari menjadi 4 minggu (28 hari).
Dalam konteks itu, dia juga mengusulkan agar lapangan terbang di Saudi yang menerima maskapai haji bisa diperbanyak selain Jeddah dan Madinah, agar disebar ke beberapa titik/kota lainnya di Saudi seperti Thaif, Qasim dan lain-lain, bila bandara Jeddah dan Madinah tidak lagi bisa diperbesar kapasitasnya untuk melayani jemaah Haji.
Alhasil, jemaah haji sesudah melaksanakan ibadah haji, bisa segera pulang dan tidak harus berlama-lama di Saudi dan menambah pembiayaan, hanya karena alasan kepadatan penerbangan di bandara Jeddah maupun Madinah.
""Dengan berbagai rasionalisasi, terobosan dan maksimalisasi upaya itu, maka saya percaya, penyesuaian biaya haji akan lebih berkeadilan, bisa dimengerti dan tidak terlalu memberatkan jamaah," tegasnya.
Alasan Kemenag
Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief menjelaskan bahwa kenaikan Bipih terjadi karena adanya perubahan skema prosentase komponen Bipih dan Nilai Manfaat.
Dia menjelaskan pemerintah menilai skema komposisi 70% Bipih dan 30% nilai manfaat lebih berkeadilan jika diterapkan untuk penyelenggaraan haji tahun ini. Pasalnya hal tersebut ditujukan untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.
"Ini dimaksudkan untuk menjaga agar nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk yang masih mengantre keberangkatan, tidak tergerus habis," terang Hilman Latief di Jakarta, dikutip Selasa (14/2/2023).
Nilai manfaat adalah hasil dari pengelolaan dana setoran awal yang diberikan ke jemaah yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Hilman mengatakan terhitung sejak 2010 sampai dengan 2022 pemanfaatan dana nilai manfaat terus mengalami peningkatan.
Hilman menuturkan nilai manfaat dari hasil pengelolaan hanya Rp4,45 juta pada 2010. Sedangkan Bipih yang harus dibayar jemaah sebesar Rp30,05 juta. Komposisi nilai manfaat hanya 13%, sementara Bipih 87%.
Kemudian seiring berjalannya waktu, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19% (2011 dan 2012), 25% (2013), 32% (2014), 39% (2015), 42% (2016), 44% (2017), 49% (2018 dan 2019). Di tahun 2020 dan 2021 pemerintah tidak memberangkatkan jamaah haji karena pandemi Covid-19. Kemudian, pada 2022 penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59%.
Kenaikan ini dikarenakan Arab Saudi melakukan penyesuaian layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan).
Menurut Kemenag, nilai manfaat yang bersumber dari hasil pengelolaan dana haji merupakan hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat. Dengan demikian, Hilman berpandangan dana tersebut harus mulai digunakan secara berkeadilan guna menjaga keberlanjutan.
"Tentu kami juga mendorong BPKH untuk terus meningkatkan investasinya baik di dalam maupun luar negeri pasca pandemi Covid-19 ini, sehingga kesediaan nilai manfaat lebih tinggi lagi," katanya.
Lebih lanjut, pemerintah menilai komposisi Bipih dan Nilai Manfaat harus dibuat proporsional. Jika masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan cepat tergerus dan tidak sehat untuk pembiaayaan haji jangka panjang.
"Jika komposisi Bipih (41%) dan NM (59%), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat cepat habis. Padahal jamaah yang menunggu 5-10 tahun akan datang juga berhak atas nilai manfaat," tegasnya.
Atas dasar ini, pemerintah mengusulkan dana haji sebesar Rp 98,89 juta dengan skema pembiayaan yakni Bipih (70%) dan nilai manfaat (30%).
Adapun rincian biaya yang dibebankan langsung oleh jemaah akan digunakan untuk membayar sebagai berikut:
1) Biaya Penerbangan dari Embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp 33,98 juta;
2) Akomodasi Makkah Rp 18,77 juta;
3) Akomodasi Madinah Rp 5,6 juta;
4) Living Cost Rp 4,08 juta; 5) Visa Rp 1,22 juta;
6) Paket Layanan Masyair Rp 5,54 juta.
(haa/haa)